Selasa, 31 Juli 2018

Lontar berisi penistaan terhadap Weda dan Umat Hindu

OM SUASTIASTU

LONTAR WIDISASTRA TARPINI DAN LONTAR YADNYA PRAKERTI BERISI PENISTAAN TERHADAP WEDA DAN UMAT HINDU

Berikut ini saya sampaikan tulisan dalam Lontar lontar yang berisi Penistaan terhadap Weda dengan memanipulasi dan menyimpangkan mantra Yayurweda XXXI.11 dan Pencemaran nama baik serta penistaan terhadap umat Hindu. Mohon Lontar lontar tersebut dikaji kembali. 

Lontar lontar tersebut antara lain :

1.       LONTAR WIDISASATRA TARPINI poin 6b - 8a  (Bukti P1) sbb :

TERJEMAHAN :
6b/ dirasuki oleh Bhuta Saryyah. Itu yang menjadikan Durmanggaladi Dunia, huru hara jadinya dunia, dikacaukan oleh Kali yang datang tanpa sebab,  kematian mendadak pada manusia, hewan semakin merajarela, sehingga kacaunya dunia, pencuri banyak,  karena manusia sama dimasuki Bhuta Kala Saryyah, panas dan menderitanya dunia, demikian menjadi keadaan dunia, karena dikutuk oleh Hyang Widdhi, karena tingkah laku manusia didunia ini, tidak mengikuti tata karma igama, tidak mempercayai apa yang terdapat dalam ajaran agama dan tanpa dituntun oleh sang Brahmana yang bijak, karena sang Brahmana Pandita sebagai tempat belajar para manusia, mengenai tingkah laku manusia,  di dunia, benar sekali hakekatnya Sang Brahmana sebagai hulu sanghyang Igama.

7a/ Sang Ksatrya sebagai Bahu sanghyang Igama. Sang Wesya ia sebagai perut Sanghyang Igama, Sudra ia sebagai Kaki Sanghyang Igama. Itulah Sang Catur Warna sebagai Pengokoh Sanghyang Igama, karena sebagai bagian badan  Sanghyang Igama,  sama sama hidup  untuk kembali  ke Sanghyang Prajapati, berwujud  beliau Sanghyang Tunggal,  Sanghyang Widdhi kebenaran beliau. Inilah  Jika orang orang yang tidak menghayati Sanghyang Igama, pasti diperiksa, karena semua ditinggalkan oleh penganutnya masing masing. Ada Sang Brahmana dua orang  yang dahulu beliau lahir saat  yoga Bhatara Brahma, menjadi ia Brahmarsi, diberi nama Brahmana Siwa dan Buddha, Itulah  sebagai mata  Sanghyang Igama di Dunia. Sang Brahmana Siwa ia mata kanan, Sang Brahmana Buddha  ia mata kiri.

7b/Beginilah lahirnya dua Ksatrya dahulu dari Yoga  Sanghyang Brahma, yang paling besar diberi nama Ksatrya Surya Wangsa,  lahir dari  bahu kanan, yang adiknya Ksatrya Soma Wangsa, lahir dari bahu  kiri sanghyang  Brahma, Ia itu sebagai  pengatur Sanghyang Igama. Yang  ketiga banyak sekali lahirnya Satrya semasih  berjalan yang diberi nama  keturunan Manusia,  demikian Sang Ksatrya orangnya. Wesya  Tiga juga lahirnya dahulu, dari Pusar sang Brahma, sebagai  sawan diperut, menuju pada  kedua paha, yang kanan nada Si Tan Kawer, di  tengah Si Tan Koncor, Si Tan Kober  di kiri ia, Itulah  ketiganya sebagai  badan utama Sanghyang Igama. Ketiganya sering keluar dari dewata.

8a. Diberi nama keturunan Manusia, itulah sang Ksatrya Manusia ia. Wesya juga ada tiga lahirnya dahulu, dari pusar Sanghyang Brahma, sebagai awan diperut, berlanjut ke kedua paha, yang paling tua Si Tan Kawur, yang kedua Si Tan Kondur, yang paling Kecil si Tan Kober, itulah ke tiganya sebagai badan Utama sanghyang Igama. Sudra tujuh Jumlahnya, semua keluar dari kaki  Sanghyang Brahma dahulu, diantaranya : KI BENDESA, KI PASEK, KI GADUH, KI ADANGKA, KI KABAYAN, KI NGUKUHIN, dan KI SALAIN. Itulah asal sudra namanya, keluar dari Yoga rahasya Dewa Brahma, itulah yang disebut tujuh lapisan dunia, itulah yang disebut sebagai kaki sanghyang Igama, karena kebahagiaan sejati.

2.      LONTAR YADNYA PRAKERTI alinea 17 (Bukti P2) sbb :

14.    Ana sira sang brahmana rwa yan padulur wijilnira nguni saka ri yoga Bhatara brahma, atemahan sira brahmarsi, ri arini brahmana siwa buda, ya ta maka caksu sanghyang igama ring jagat, sang brahamana siwa sira caksu tengen, sang brahmana buda sira caksu kiwa.

15.    Kunang sang ksatriya saroro wijilnya nguni saking yoga sanghyang brahma, kang panuha di arani ksatira suryawangsa, metu saka ri bau tengen; kang ari satriya soma wangsa, metu saka ri bau kiwa sanghyang brahma, ya ta sira makawirburja sanghyang igama. Katrini nira waneh mijil satriya saka mulakanta sanghyang di arani Manuwangsa, nimita sang kesatriya wangsa sira.

16.    Wesya trini juga wijilnira nguni, saka ri nabi sanghyang brahma, maka awan ri weteng anerus ring pupu kalih, kang panuhane si Tan Kawur, pamadianira si Tan Kondur, si Tan Kober wurujunira, ya ta sira katrini pinaka utamangga sanghyang igama aduwe pada makadi nika.

17.    Nikang sudrayoni sapta kwehnira, para ametu saka ri suku sanghyang brahma nguni, lwir aranira: Ki Bandesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki Dangka, Ki Kubayan, Ki Ngukuhin lawan Ki Salain. Ika sudra yoni inaranan, mijil saking sandi yoga Bhatara Brahma, nimita saptapatala di arena, ya ta sira nggeh suku sanghyang igama, apan sukarti sanghyang Prajapati sira, yakta kabeh ikang wang wenang makaulu ri sang brahmana pandita Siwa-Buda.

*****

Bahwa dari segi Penulisan tampak kurang cermat, karena ada kalimat yang diulang dan tidak nyambung, yaitu pada 7b : “Wesya  Tiga juga lahirnya dahulu, dari Pusar sang Brahma, sebagai  sawan diperut, menuju pada  kedua paha, yang kanan nada Si Tan Kawer, di  tengah Si Tan Koncor, Si Tan Kober  di kiri ia, Itulah  ketiganya sebagai  badan utama Sanghyang Igama:.

DIULANGI LAGI pada 8a dengan salah hurup pada nama Kawer, Koncor dan Kober menjadi Kawur Kodur dan Kober sbb :  “Wesya juga ada tiga lahirnya dahulu, dari pusar Sanghyang Brahma, sebagai awan diperut, berlanjut ke kedua paha, yang paling tua Si Tan Kawur, yang kedua Si Tan Kondur, yang paling Kecil si Tan Kober, itulah ke tiganya sebagai badan Utama sanghyang Igama”. Dengan TERSELIP kalimat :” Diberi nama keturunan Manusia, itulah sang Ksatrya Manusia ia” padahal yang dibahas sudah tahap Wesya.
Jadi ini mendukung dugaan bahwa tulisan pada bukti p1 adalah tulisan REPODUKSI yang kurang cermat dan dibuat secara tergesa gesa.


Bahwa dalam Weda Sruti tidak ada penyebutan :
Brahmana lahir dari caksu  (Mata)   kanan dan Mata Kiri   dewa Brahma,
Ksatrya Lahir dari bahu kanan dan bahu  kiri  dewa Brahma,
Wesya lahir dari Pusar (Nabhi),dewa Brahma.
Sudra lahir dari Kaki dewa Brahma.

Bahwa dalam Weda Sruti seperti dalam Yayurweda XXXI.11 hanya disebutkan sbb : (Bukti P3)

Brahmano -Asya mukham asid.
Bahu rajanyah krtah.
Uru tadasya yad Vaisyah.
Padbhyam Sudro ajayata.

Artinya  kurang lebih sbb :
Brahmana adalah Mukanya.
Raja adalah Bahunya.
Wesya adalah Perutnya.
Sudra adalah Kakinya 

Bahwa di Yayurweda XXXI.11 (bukti P3) tidak disebut Kepala, Hulu atau Caksu melainkan MUKHAM (muka/rai = wajah.).  Dan tidak disebut Tangan melainkan BAHU. Tidak disebut Pusar melainkan Perut (URU) sehingga Penulisan Barhmana Lahir dari Kepala, hulu, mata kanan dan mata kiri Dewa Brahma, Ksatriya lahir Tangan, atau bahu kanan dan bahu Kiri Dewa Brahma, Wesya Lahir dari  Pusar dan Sudra lahir dari  Kaki pada Lontar Widisastra Tarpini dan Lontar Yadnya Prakerti TELAH MEREKAYASA asal usul Catur Warna.

Bahwa Catur Warna BUKAN METU/KELUAR dan BUKAN PULA DILAHIRKAN dari masing masing anatomi Dewa Brahma, melainkan,  Catur Warna adalah DICIPTAKAN  oleh Tuhan. Seperti tertulis di Seloka BG IV.13 berikut : Chatur Varnyam maya srishtam guna karma vibhagasah,  artinya:  Catur Warna adalah ciptaanKu bardasarkan guna karma yang melekat padanya.

Bahwa dengan demikian Penulisan Brahmana lahir dari Kepala, Ksatrya lahir dari Tangan, Wesya lahir dari Pusar dan Sudra Lahir dari Kaki Dewa Brahma telah merekayasa kata Ciptaan (Maya Srishtam) menjadi dilahirkan, dengan demikian Catur warna versi Lontar Widisastra Tarpini dan Lontar Yadnya Prakerti telah menyesatkan umat Hindu sehingga perlu di Revisi.

Bahwa Dalam yayur Weda XXXI.11 tidak ada nama nama leluhur Orang Bali pada masing masing anatomi Dewa Brahma. Tetapi  dalam Lontar Widisastra Tarpini dan Lontar Yadnya Prakerti tersebut diatas, ditambahkan nama nama leluhur orang Bali pada anatomi (Kaki)  Dewa Brahma sebagai asal usul kelahiran Sudra, dengan menambahkan kalimat lwir aranira:  Ki Bandesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki Dangka, Ki Kubayan, Ki Ngukuhin lawan Ki Salain di belakang kalimat : "adwe pamakadinya ikang Sudra yeni sapta kwehnya, pada metu saka ri suku Sanghyang Brahma ngarani". (Bukti P1) dan dibelakang kalimat : "Nikang sudrayoni sapta kwehnira, para ametu saka ri suku sanghyang brahma nguni”  pada(Bukti  P2). Sehingga Lontar Widisastra Tarpini dan Lontar Yadnya Prakerti TELAH DENGAN SENGAJA Menambah nambah kan nama leluhur Orang Bali.

Bahwa Penambahan kalimat Luiraranire : Ki Bendesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki  Adangka, Ki Kabayan, Ki Ngukuhin,  Lawan Ki Salahin dibelakang kalimat  :  “adwe pamakadinya ikang Sudra yeni sapta kwehnya, pada metu saka ri suku Sanghyang Brahma ngarani"  pada Tulisan di Widisastra Tarpini (Bukti P1),
dan di belakang kalimat "Nikang sudrayoni sapta kwehnira, para ametu saka ri suku sanghyang brahma nguni  pada tulisan  Yadnya Prakerti" (Bukti P2) dapat menimbulkan Ketidak percayaan Umat Hindu pada susastra Weda lainnya, sehingga berdampak dapat menimbulkan Ketidakpercayaan kepada Agama Hindu.

Bahwa memperhatikan Bhagawad Gita XVIII.44 yang  menyebutkan : Seorang Sudra adalah seorang Paricaryatmakam = Hanya mampu bekerja menggunakan Fisik, (tidak mampu menggunakan Kecerdasan Otak karena ber IQ rendah).  (Bukti P4)
Bahwa dengan memperhatikan lontar /buku SIWA SASANA pada poin 9a dan 9b yang tertulis sbb :  “Seorang Sudra TIDAK BOLEH di Diksa menjadi Sulinggih”. (Bukti P5)

Bahwa dengan memperhatikan  buku  SLOKANTARA seloka  38 yang menyebutkan sbb :  “Seorang Sudra disebut Antyajati atau kelahiran rendah”.  (Bukti P6) 

Bahwa memperhatikan lontar/buku SUNDARI BUNGKAH 10a terbitan Bali Wisdom  yang menyebutk mayat orang Sudra, tiada bedanya dengan bangkai hewan seperti tertulis berikut ini (Bukti P7)  : 
“10a. Ini sebagai perujudanNya  agar dibersihkan, dan mayatnya diberikan hiasan, karena mayat beliau tidak seperti pandai yang lain nya. Jika tidak mengikuti tatacara tersebut MAKA SAMA SAJA SEPERTI MAYAT ORANG SUDRA, DAN TIADA BEDANYA DENGAN BANGKAI HEWAN. …. Dst.

Bahwa mengutip  pendapat Profesor DR. Gangga Prasad Upadhyaya, dalam buku nya “VEDIC CULTURE”   yang menulis  Sbb : (Bukti P8)
“ Jika ada seseorang yang tingkat kecerdasan otaknya rendah, yang tidak dapat menentukan pekerjaan apa yang harus dipilih untuk dirinya sendiri, ia tidak akan dibiarkan hidup malas berpangku tangan, masyarakat memaksanya untuk mengerjakan sesuatu atas perintah atau petunjuk dan pengawasan mereka yang dapat memilih dan memimpinnya. Orang demikian dinamakan SUDRA - Orang malang. Kemalangan ini menyebabkan mereka diletakkan dalam tingkat masyarakat terendah, bukan dipaksakan kepada mereka oleh masyarakat. Ia menjadi demikian karena ia tidak dapat, tidak mampu karena kelemahannya sendiri atau juga karena kemalasannya, untuk memilih untuk dirinya sendiri suatu lapangan pekerjaan bebas dan terhormat…”

Bahwa memperhatikan Babad Pasek yang menyebutkan:   Leluhur Ki Bendesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki Adangka, Ki Kabayan, Ki Ngukuhin,  Lawan Ki Salahin, terlahir dari Rahim “BIDADARI” Manik Gni dengan Purusa (Suami)  Sang Brahmana Pandita/Mpu Gnijaya. (Bukti P9)

Bahwa memperhatikan Prasasti Alas Purwo - Jawa Timur, yang menyebutkan bahwa  Prabu Brawijaya V dalam Pelariannya di Blambangan / Banyuwangi th 1478 M,  ber WASIAT  kepada Anak Cucunya – supaya meneruskan pelariannya ke arah timur (ke Bali) dan  meminta perlindungan kepada Raja di Peduungan dan Kepada Rare Angon di Bali. Beliau menyebut Rare Angon (salah satu leluhur Pasek) sebagai “ Titisan Ciwa - sebagai guru suci (Brahmana) dulunya dipercaya sebagai sekretaris dan bendahara pembangunan pura di Bali. (Bukti 10).

Bahwa  Penambahan kalimat Luiraranire : Ki Bendesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki  Adangka, Ki Kabayan, Ki Ngukuhin,  Lawan Ki Salahin dibelakang kalimat  :  “adwe pamakadinya ikang Sudra yeni sapta kwehnya, pada metu saka ri suku Sanghyang Brahma ngarani  pada Tulisan di Widisastra Tarpini (Bukti P1) 
dan di belakang kalimat   Nikang sudrayoni sapta kwehnira, para ametu saka ri suku sanghyang brahma nguni  pada tulisan  Yadnya Prakerti (Bukti P2).
JELAS  dimaksudkan untuk menistakan keluarga : Ki Bendesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki  Adangka, Ki Kabayan, Ki Ngukuhin,  Lawan Ki Salahin.

Bahwa dengan memperhatikan:

  1. Bukti P1 ; Lontar Widisastra tarpini poin 9a  
  2. Bukti P2; Lontar Yadnya Prakerti alinea 17
  3. Bukti P3 : Yayurweda XXXI,11  
  4. Bukti P4 : Bagawad Gira XVIII.44
  5. Bukti P5 :Buku  Siwasasana, poin 9ab
  6. Bukti P6 : buku Slokantara, seloka 38
  7. Bukti P 7: Buku/lontar Sundari Bungkah poin 10a
  8. Bukti P8 : Buku VEDIC CULTURE karya Profesor DR. Gangga Prasad Upadhyaya.
  9. Bukti P9 : Babad Pasek
  10. Bukti P10 : Prasasti Alas Purwo.
  11. Pasal 156 a dan b UU Penistaan Agama
  12. Pasal pasal pencemaran nama baik KUHP

Maka  tulisan dalam lontar Widisastra Tarpini (Bukti P1)  dan Lontar Yadnya Prakerti (Bukti P2) mengandung unsur Unsur :

  1. Penyimpangan dan Penyesatan  terhadap Kitab suci Weda terutama Yayurweda XXXI.11
  2. Penistaan terhadap  kitab suci Weda
  3. Penistaan terhadap Agama  HINDU
  4. Penistaan terhadap Umat Hindu   
  5. Pencemaran nama baik dan Penistaan umat Hindu terutama dari Warga : Ki Bendesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki  Adangka, Ki Kabayan, Ki Ngukuhin dan Ki Salahin.

Bahwa lontar Widisastra tarpini (Bukti P1)  dan Lontar Yadnya Prakerti (Bukyti P2) telah beredar luas di Masyarakat Hindu terutama di Griya Griya para Sulinggih dan dijadikan rujukan oleh para Jero Mangku dan Para Sulinggih  sehingga berpotensi DISALAH TERAPKAN dan DISALAH GUNAKAN di masyarakat Hindu.

Bahwa penyalah Gunaan dan Penyalah terapkan isi Tulisan Lontar tersebut pada Bukti P1 dan Bukti P2 di Masyarakat Hindu Bali telah menimbulkan permasalahan social dan keagamaan selama berabad abad di Hindu Bali diantaranya :

  1. Ada Oknum yang tidak mau di ketisin tirta Ide Pandita Mpu karena mengaggap IPM adalah Pedande Sudra.
  2. Ada Oknum yang selalu menyebut Pedande Sudra pada sulinggih dari warga Ki Bendesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki  Adangka, Ki Kabayan, Ki Ngukuhin dan Ki Salahin.
  3. Ada Oknum Pedande yang tidak bersedia Duduk bersama dan muput bersama IPM karena terdokrin oleh Isi Lontar lontar Widisastra Tarpini dan Lontar Yadnya Prakerti tersebut.
  4. Timbulnya persoalan Trisadaka VS Sarwa Sadaka di Besakih dan beberapa Desa adat di Bali, seperti kasus Mecaru di Gianyar saat Nyambut Nyepi th saka 1941 (2019 M)
  5. Timbulnya  Penistaan sulinggih IPM di Pura Dasar Bhuwana Gelgel dan  tidak di injinkan IPM  me Weda di Bale Pawedaan pura tersebut. 
  6. Ber edarnya Surat Penolakan terhadap Ida Pandita Mpu di Desa Pekraman Prangsada –Desa Pering – Blahatuh - Gianyar.

Bahwa untuk mencegah penyalah gunaan dan penyalah terapan isi Lontar Widisastra Tarpini dan Lontar Yadnya Prakerti di masyarakat, DAN MENCEGAH KECELAKAAN SEJARAH YANG DIWARISKAN maka ke dua lontar tersebut HARUS DI KAJI Kembali. Dan apabila tidak bisa dikaji kembali maka kedua lontar tersebut Harus di Musnahkan.    

Bahwa kecelakaan Sejarah telah MEMPORAK PORANDAKAN NEGARA NEGARA TIMUR TENGAH karena sentiment POLITIK nya di masukkan kedalam Kitab Sucinya. Sehingga Kaum Yahudi selalu DI PERANGI untuk dimusnahkan dari Muka Bumi karena dalam kitab sucinya disebutkan kaum Yahudi (Al Yahud) adalah kaum yang dimurkai Tuhan dan Umat Kristen (Al Nas) disebut Kaum yang sesat. Dan Al Hind sebagai ajang perang di akhir Jaman

Apakah Umat Hindu di Bali akan Mewariskan KECELAKAAN SEJARAH dengan menyebut : Ki Bendesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki  Adangka, Ki Kabayan, Ki Ngukuhin dan Ki Salahin sebagai SUDRA dalam Lontar Widisastra Tarpini (Bukti P1) dan Lontar Yadnya Prakerti (Bukti P2), dan berasal dari kelahiran rendah menurut Slokantara seloka 38 (Bukti P 6) dan tidak boleh di Diksa Menjadi Sulinggih menurut Lontar Siwasasana 9ab (Bukti P 5). yang kalau SEORANG SUDRA MATI  MAYATNYA TIADA BEDANYA DENGAN BANGKAI HEWAN seperti tertulis di Lontar Sundari Bungkah (bukti P 7)?.

*****

BEBERAPA DALIL DALIL PENJELASAN


I. PENJELASAN  SECARA SOSOLOGIS – TATTWA AGAMA

Bahwa di Yayurweda XXXI.11 tertulis  sbb :

Brahmano -Asya mukham asid,
Bahu rajanyah krtah,
Uru tadasya yad Vaisyah,
Padbhyam Sudro ajayata.

Artinya kurang lebih sbb  : 

Brahmana adalah Mukanya,
Raja adalah Bahunya,
Wesya adalah Perutnya,
Sudra adalah  Kaki nya.

Maksud dari mantra ini adalah;
Brahmana  adalah Mukhanya. Artinya : Baik buruk dan maju mundur nya masyarakat atau agama,  tercermin dari tingkah laku dan kehidupan kaum Brahmananya.  Mukha (Wajah) adalah yang pertama kali dilihat saat kita bertemu atau berkenalan dengan seseorang. Karena saat pertama kali kita berkenalan dengan seseorang, kita akan melihat  Mukanya atau Wajahnya, bukan kaki nya, bukan perutnya, bukan pula bahunya.

Raja adalah Bahunya. Bahu berperan untuk memikul beban.  Artinya para raja atau Ksatrya memikul beban untuk menjaga dan melindungi Dharma dan Masyarakat. Kaum Ksatrya (para Raja) bertanggung jawab menjaga Dharma dan masyarakat supaya tetap berada pada jalan Dharma.

Wesya adalah Perutnya, Perut harus dibuat kenyang supaya nyaman dan bahagia. Artinya kaum Wesya lah yang berperan untuk memenuhi kebutuhan Perut Umat dan Masyarakat, kaum wesya bertugas mensejahterakan Umat dengan keahliannya berdagang (pengusaha), berternak, bertani dan ber nelayan. Para Wesya berurusan dengan Perut nya Umat.

Sudra adalah Kakinya,  Kaki adalah penopang tubuh.  Kaki  menopang beban berat seluruh tubuh.  Artinya kaum Sudra adalah yang menopang Dharma dan Masyarakat. Kaum Sudra adalah bagian penting  dari ke 3 bagian tubuh dan fungsinya sangat Vital untuk menopang dan menggerakkan seluruh Tubuh.  Tubuh tidak akan sempurna kalau kaki nya sakit atau cacat. Mukha bagus, Bahu kekar, Perut Buncit, kalau kaki nya Lumpuh!!, tidak akan bisa sempurna.  

JADI :
Secara sosiologis Catur Warna merupakan 4 (empat) pembagian tanggung jawab secara social,  bukan merupakan 4 (empat) tingkat status sosial.

II. PENJELASAN SECARA PSIKOLOGIS – TATTWA AGMA

Bahwa Catur Warna bukan metu/keluar dan bukan pula dilahirkan dari masing masing anatomi Dewa Brahma, MELAINKAN DI CIPTAKAN Oleh Tuhan. Seperti tertulis di Seloka BG IV.13 berikut : Chatur Varnyam maya srishtam guna karma vibhagasah,  artinya:  Catur Warna adalah ciptaanku bardasarkan guna karma yang melekat padanya. 
Bahwa dengan demikian Penterjemahan Brahmana lahir dari Kepala, Ksatrya lahir dari Tangan, Wesya lahir dari Pusar dan Sudra Lahir dari Kaki Dewa Brahma PERLU DI KOREKSI KEMBALI.

Bahwa, Triguna sebagai dasar pembentukan Catur Warna terdiri dari Satwam, Rajas dan Tamas.
Bahwa BG.XIV.5, menyebutkan : Sattwam Rajas Tamas iti Guna Prakriti samdhawah.   artinya : Satwan rajas tamas merupakan sifat bawaan yang terlahir dari prakirti.

Bahwa ajaran Samkya, menerangkan  bahwa pembentuk realitas dunia adalah Purusa dan Prakerti, Roh dan Benda, asas Rohani dan asas Badani. Purusa adalah asas Rohani,  asas  yang kekal tidak berubah, sedang Prakerti adalah unsur unsur Badani dan Psikologis (kejiwaan). Sattwam Rajas Tamas atau Triguna merupakan unsur Psikologis (kejiwaan) yang menyertai kelahiran Pancamahabuta.

Bahwa  Wrihaspati Tattwa 17 dan Bhagawad Gita XIV.6  menyebutkan Ciri-ciri Satwam sebagai bagian Triguna pementuk Catur Warna sebagai berikut :
Nirmalawat=Sifat yang tidak tercela.
Prakasakam = Bercahaya
Anamayam= tidak mengenal sedih/menderita
Sukhasangena =selalu memberi rasa senang
Jnanasangena =memberikan ilmu pengetahuan
Anagha =tidak tercela.

Bahwa dalam Wrihaspati Tattwa 18 dan dalam Bhagawad Gita XIV.7  disebutkan   Ciri ciri Rajas sebagai bagian dari Triguna pembentuk Catur Warna, sebagai berikut :
Raga=nafsu,
Atmakam=sendiri,
Trsna=nafsu birahi,
Sanga=terikat,
Karmasangena=terikat oleh karma.
Dahinam=Jasad Rohani.

Bahwa dalam Wrihaspati Tattwa 19  dan Bhagawad Gita XIV.8 disebutkan  Ciri ciri Tamas sebagai bagian dari triguna pembentuk Catur Warna,sebagai berikut :
Ajnanam= tidak berpengetahuan,
Mohanam=kebingungan,
Pramada=tidak peduli/hirau/masa bodo.
Lasya= malas, 
Nibrabhis=ketiduran/malas ,
Nidra=tidur,

Bahwa dalam Bagawad Gita XIV.11-13 dan  disebut juga di Wrihaspati Tattwa 17 -24  Bahwa : Apabila badan ini didominasi oleh Satwam maka Ilmu pengetahuannya menembus didalam badan melalui semua pintu. 

Bahwa dalam BG.XIV.12 dan Wihespati Tattwa 17-24  disebutkan Apabila badan ini  didominasi oleh Rajas maka perilakunya  yang tampak adalah :
Lobham = Loba, giat dalam usaha,
Prawrttir = Kegiatan kerja duniawi.
Arambah = giat berusaha
Sprha = kemauan kuat. 
Bahwa dalam BG XIV,13 dan Wrihespati Tattwa 17-24 disebutkan Apabila badan ini didominasi oleh Tamas maka perilakunya yang  tampak adalah :
Aprakaso = kekurangan cerah/tdk bersinar,  
Aprawrtti = malas.   
Pramada = tidak peduli/teledor. 
Moha = bingung,  
Nidralasya = suka tidur,
Mohanam atmanam = kesesatan jiwa.

Bahwa dalam Wrihapati Tattwa seloka 15 disebutkan :
“Ikang citta mahangan mawa, yeka sattwa ngaranya, ikang maderes molah, reka rajah ngaranya, ikang abwat peteng, yeka tamah ngaranya”.

Sattwa bersipat terang dan bersinar, Rajah berubah ubah-ubah, Tamas berat dan kabur. Ketiga sifat itulah yang mewarnai pikiran. Pikiran yang terang dan jernih disebut Sattwa, pikiran yang selalu berubah ubah disebut rajah, dan pikiran yang berat dan keruh disebut tamah. (Putra IGAG dan Sadia Wayan, 1988: Selokantara. Yayasan dharma sarati, Jkt).

Bahwa Triguna sebagai pembentuk struktur Catur Warna terdiri dari :
1.       Satwam, merupakan  gudang nilai-nilai moral dan Ilmu pengetahuan,sehingga  mampu melakukan sensor bagi individu dalam menentukan salah atau benar, baik atau jahat, karena  Satwam memperhatikan prinsip-prinsip moral dan merupakan representasi dari norma umum dan kesusilaan.
2.      Rajas,mewakili kenyatan fisik dan sosial seseorang.  berpungsi sebagai penyeimbang antara Tamas dan Satwam. Sedangkan
3.      Tamas,merupakan struktur kepribadian primitif, tidak sadar, bekerja tidak rasional dan infulsif,karena  merupakan dorongan kemauan insting.

Bahwa Interaksi dinamis antara Tri Guna dengan Karma membentuk CATUR WARNA, seperti  seloka BG.IV.13 berikut : Chatur Varnyam maya srishtam guna karma vibhagasah, Artinya :  Catur Warna adalah ciptaanKu bardasarkan guna karma yang melekat padanya.

Bahwa CATUR WARNA terdiri dari : Brahmana, Ksatrya, Wesya dan Sudra.
Bahwa di YayurWeda XXXIII.81. RgWeda. IX.107.7. RgWeda IX.87.3. RgWeda VII.87.3. AtharwaWeda XI.5.14. Sarasasmuscaya 56.57. Mahabarata  III.CLXXX.21.25.26 dan BHAGAWAD GITA XVIII. 42. Dan Manawa Dharmasastra X.70-72 disebutkan Ciri-ciri Brahmana antara lain sebagai berikut  :                                            
Samo : khusuk/tenang,                             
Damas : menguasai panca indra/mampu mengendalikan diri.
Tapah : mampu mengendalikan nafsu
Saucam : suci.
Arjawa : luhur budinya.
Ksanti : damai/tenang,
Jnanam : berpengetahuan/terpelajar
Wijnanam : bijaksana/berpengalaman.
Astikyam : religius.

Bahwa di BG. XVIII.43 dan Wrihesati Tattwa seloka 60 disebutkan Ciri-ciri Ksatrya sebagai berikut :
Sauryam : heroisme/pemberani.
Tejo : Lincah.
Dhritir : Teguh .
Daksyam : pandai menyelesaikan tugas,
Yuddhe : siap bertempur.
Apalayamam : tidak pengecut.
Dana : dermawan.
Iswarabhawa : bersifat memimpin/ berwibawa.

Bahwa di BG. XVIII.44 dan Wrihespati Tattwa seloka 60 disebutkan Ciri-ciri Wesya sebagai berikut :
Krsi : mengusahakan pertanian.
Gauraksya :  memelihara lembu/berternak. 
Wanijyam : suka berdagang.         

Bahwa di BG XVIII.44 disebutkan Ciri ciri Sudra sbb :
Paricaryatmakam :  Hanya mampu bekerja menggunakan Fisik, (tidak mampu menggunakan Kecerdasan Otak karena ber IQ rendah).

BAHWA YUDISTIRA dalam dialognya dengan YAKSA (dlm YAKSHA PRASHNA) dalam Ithihasa Mahabarata mengatakan bahwa:
“ Kelahiran, belajar Veda dan pengetahuan Sains  atau Pekerjaan bukan  aspek  yang membuat seseorang menjadi Brahmana. Yang  membuat Seseorang   menjadi Brahmana  adalah Perilaku atau Karakternya.
Suatu Perilaku atau  Karakter yang baik tidak pernah menjadi buruk dan satu Perilaku atau  karakter buruk selalu dianggap buruk.
Dia yang tertarik  dengan ritual dan yang juga memiliki kendali penuh atas indranya dialah yang disebut  Brahmana sejati”.

Sedangkan tentang Ksatriya Yudistira menjawab nya sbb : 
“ Pintar memainkan Panah dan segala jenis  senjata, Perayaan/ Pengorbanan, Tidak gentar/tidak mengenal takut, selalu melindungi kebenaran’ adalah ciri seorang Ksatrya”

Bahwa BG.XVIII.41. menyebutkan : Brahmana ksatrya wisam sudranam ca parantapa, karmani prawibhaktani swabhwaprabhawir gunah. Artinya: Brahmana Ksatrya Wesya dan Sudra PERILAKUNYA dibentuk oleh sifat bawaan guna (triguna).

Bahwa Perilaku yang ditunjukkan secara terus menerus oleh tiap-tiap individu menurut Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro dalam buku Ilmu Penyakit Jiwa FK Unair  disebut Kepribadian/Personality. Sedangkan menurut Salvador R Maddi, dalam Buku Organisasi Jilid I Oleh Gibson dkk menyebutkan : “Kepribadian/ Personality  merupakan seperangkat karakteristik yang relatip mantap, kecenderungan dan perangai yang sebagian besar dibentuk oleh faktor keturunan dan faktor faktor sosial, kebudayaan dan lingkungan. Perangkat variabel ini menentukan persamaan dan perbedaan perilaku individu”.

Bahwa menurut Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Kepribadian atau Personlality  merupakan keseluruhan cara seseorang, di mana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang. Karakteristik yang umumnya melekat dalam diri seorang individu adalah malu, cerdas, bodoh, agresif, patuh, malas, ambisius, setia, dan takut. Karakteristik-karakteristik tersebut jika ditunjukkan dalam berbagai situasi, disebut sifat-sifat kepribadian. Sifat kepribadian menjadi suatu hal yang mendapat perhatian cukup besar dibidang Psikologi karena sifat-sifat kepribadian dapat membantu proses dalam memilih profesi dan seleksi karyawan, menyesuaikan bidang pekerjaan dengan individu, dan memandu keputusan pengembangan profesi/karier.
Bahwa Sigmund Freud – ahli Psikoanalisa,  menerangkan perbedaan kepribadian individu terjadi karena tiap orang mengalami perangsangan pokok yang berbeda-beda, yang disebabkan oleh pertentangan terus menerus antara dua bagian dari struktur kepribadiannya yang menurut istilah Freud disebut Id, Ego dan super ego. ( Tamas, Rajas dan Sattwam ?)  

Bahwa Kepribadian  (bhs Inggris Personality), tidak sama dengan sifat/watak (Bhs Inggris character ). Kepribadian/personality bersifat menetap - konsisten sepanjang waktu dan dalam berbagai situasi. Sedangkan Watak/Character sifatnya sewaktu-waktu dapat berubah, misalnya besifat  atau berwatak keras kepala, pemarah dls. (Health Study Club, bidang Ilmu Penyakit Jiwa, FK UGM 82).
Bahwa Dengan memperhatikan :


  1. Bagawad Gita IV.13 tentang Catur warna
  2. Bagawad Gita XIV.5.6.7.8 tentang Triguna pembentuk Catur Warna
  3. Bagawad Gita XIV.13.14.15 tentang Triguna pementuk Catur Warna
  4. Bagawad Gita XVIII.41.42.43.44 tentang Catur Warna
  5. Yayurweda XXXIII.81. tentang Brahmana
  6. RgWeda. IX.107.7.  tentang Brahmana
  7. RgWeda IX.87.3. tentang Brahmana
  8. RgWeda VII.87.3. tentang Brahmana
  9. AtharwaWeda XI.5.14. tentang Brahmana
  10. Sarasasmuscaya 56.57. tentang Brahmana
  11. Mahabarata  III.CLXXX.21.25.26 tenrang Brahmana
  12. Bhagawad gita XVIII. 42. Tentang Brahmana
  13. Manawa Dharmasastra X.70-72     tentang Brahmana
  14. Wrihespati Tattwa seloka 15 s/d 24 tentang Triguna pembetuk Catur Warna
  15. Lontar/Buku Siwasasana poin 9ab tentang Sudra
  16. Buku Slokantara seloka 38 tentang Sudra
  17. Lontar/Buku Sundari Bungkah 10a tentang Sudra
  18. Dialog Yudistira dengan Yaksa (Yaksa Prashna) dalam Ithihasa Mahabarata Tentang kriteria Ksatrya dan Brahmana.
  19. Pendapat Para ahli Psikologi diantaranya : Profesor DR. Kusumanto Setyonegoro dalam buku : Ilmu Penyakit Jiwa Universitas Airlangga dan Salvador R Maddy dalam buku Organissi jilid 1; Gibson dkk,Erlangga, Jkt..1989 dan Health Study Club bidang Ilmu Penyakit Jiwa angkatan 82 FK UGM
  20. Difinisi Personality/kepribadian dalam Wikipedi, bahasa Indoneisa  Ensiklopedia bebas


JADI SECARA ILMU PSIKOLOGI, MAKA SAYA BERPENDAPAT BAHWA :


  1. Catur Warna adalah 4 tipe pola perilaku Manusia  yang relative konsisten/mantap.  atau 
  2. Catur Warna adalah 4 tipe Personality atau 4 tipe Kepribadian Manusia. 
  3. Catur Warna bukan 4 Wangsa, bukan 4 Kasta dan bukan 4 Soroh.
  4. Catur Warna  juga  Bukan  4 tipe profesi/pekerjaan.  Karena profesi/pekerjaan seseorang belum tentu sesuai  dengan Warnanya.

    Kalau Catur Warna adalah 4 Jenis Profesi atau kalau Catur warna adalah 4 Wangsa/Kasta/Soroh maka pertanyaannya adalah :

    • Profesi apa atau Wangsa/Kasta/Soroh nya  siapa  yang kalau mati mayatnya tiada beda dengan  bangkai Hewan (Sundari Bungkah 10a).
    • Profesi apa atau Wangsa/Kasta/Soroh nya siapa yang tidak boleh di Diksa menjadi Sulinggih (Siwasasana 9ab).
    • Profesi apa atau Wangsa/Kasta/Soroh nya siapa berasal dari Kelahiran Rendah? (Slokantara 38),

    Bahwa Apakah seorang sarjana Agama yang taat ber sembahyang ber perilaku baik, sopan dan  tertarik  dengan ritual dan yang juga memiliki kendali penuh atas indryanya, gara  gara bekerja sebagai BURUH Bangunan atau Buruh Kasar terus dianggap berasal dari Kelahiran Rendah dan tidak boleh di DIKSA serta kalau mati mayatnya disamakan dengan bangkai Hewan ?.

    Bahwa Apakah Seorang Budak kasar - yang dahulunya adalah kaluarga Kerajaan - karena Kalah perang terus dijadikan Budak (“ Sudra”)  oleh musuhnya -  terus disebut berasal dari Kelahiran Rendah karena dijadikan  “Sudra” ??.
  5. Bahwa Catur Warna adalah psikologi  dalam Agama Hindu,  untuk mengarahkan seseorang memilih profesi/pekerjaan sesuai dengan Personality nya (bakat, hobby  dan kecenderungan  perilakunya).


Bahwa Yayurweda XXX.5 telah mengarahkan pimilihan profesi/pekerjaan seperti tertulis sbb  :

Brahmane brahmanam,
Ksatriya rajanam,
Marudbhyo Vaisyam,
Tapase Sudra

Artinya :
Brahmana untuk Pengetahuan,
Kstarya untuk Perlindungan,
Wesya untuk Kesejahteraan,
Sudra untuk pengabdian Jasmaniah.
Maksudnya : 

Seorang ber Tipe Personality Brahmana cocok ber profesi berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan, sebagai pembimbing umat manusia seperti sebagai : Sulinggih, Penasehat/Konselor, Guru/Acharya dls. 
èBrahmana adalah Mukha/Wajah nya agama dan Masyarakat.    

Seorang ber Tipe Personality  Ksatrya cocok berprofesi berkaitan dengan Perlindungan, seperti Pemimpin pemerintahan dan Perwira tentara 
è Raja/Ksatrya adalah Bahu nya agama dan Masyarakat.

Seorang ber Tipe Personality Waisya cocok berprofesi berkaitan dengan  Kesejahteraan (urusan perut) seperti berdagang, bertani, beternak, ber nelayan, pengusaha dls.
èWesya adalah Perutnya agama dan Masyarakat.

Seorang ber Tipe Personality  Sudra hanya mampu bekerja menggunakan Fisik/Jasmani (TAPASE) dan harus selalu dalam bimbingan ke tiga warna (TRIWARNA)  diatasnya  karena mempunyai keterbatasan kecerdasan.
èSudra adalah Kakinya agama dan Masyarakat.


Itulah sebabnya, SASTRA SASTRA seperti Siwasasana dll. melarang seorang SUDRA untuk di DIKSA menjadi Sulinggih dan tidak diperbolehkan menjadi Pemimpin, karena keterbatasan kecerdasannya  dan Keterbatasan kemampuan yang dimiliki nya.

Sudra dilarang menjadi Sulinggih dan Pemimpin karena yang disebut Sudra dalam SASTRA adalah Orang Yang Bodoh, dungu, malas atau mempunyai keterbatasan fisik dan Mental.

*****

III. PENJELASAN SECARA SOSIAL POLITIK – DEVIDE ET IMPERA

Bahwa Menafsirkan YayurWeda XXXI.11 yang berbunyi : Brahmano -Asya mukham asid, Bahu rajanyah krtah, Uru tadasya yad Vaisyah, Padbhyam Sudro ajayata sebagai : Brahmana lahir dari Kepala, Ksatrya Lahir dari Tangan, Wesya lahir dari Pusar dan Sudra Lahir dari Perut Dewa Brahma (Igama) dengan menambahkan  kalimat luiraranier (= diantaranya)  : Ki Bendesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki  Adangka, Ki Kabayan, Ki Ngukuhin,  Lawan Ki Salahin dibelakang kategori Sudra,  Mengandung Unsur penyimpangan  terhadap YayurWeda tersebut.

BAHWA tulisan yang men SUDRA kan Ki Bendesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki  Adangka, Ki Kabayan, Ki Ngukuhin,  Lawan Ki Salahin, TIDAK SESUAI dengan babad Pasek yang menulis bahwa : Leluhur Ki Bendesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki  Adangka, Ki Kabayan, Ki Ngukuhin,  Lawan Ki Salahin, terlahir dari Rahim “BIDADARI” Manik Gni dan dari leluhur Purusa (Ayah) Sang Brahmana Pandita ( = Mpu Gni Jaya).

Bahwa Pen Sudra an Ki Bendesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki  Adangka, Ki Kabayan, Ki Ngukuhin,  Lawan Ki Salahin, Juga BERTENTANGAN dengan Prasasti Alas Purwo - Jawa Timur yang dikeluarkan oleh Prabu Brawijaya V yang menyebut Rare Angon (salah satu leluhur Pasek dan Bendesa)  sebagai “ Titisan Ciwa - sebagai guru suci (Brahmana) dulunya dipercaya sebagai sekretaris dan bendahara pembangunan pura di Bali”.

Bahwa dengan demikian Saya menduga :  tulisan di Lontar lontar Widisastra Tarpini dan Yadnya Prakerti adalah tulisan Pesanan dan atau Re PRODUKSI Kononial dan Misionaris dijaman Kolonial,  untuk memecah belah umat Hindu dan untuk  menistakan  Kitab suci dan Susastra Weda dengan tujuan akhir membuat Umat Hindu Bali tidak percaya dengan kitab Suci Weda  dan Lontar Suci tuntunan nya.

ASUMSINYA SSB:
Jaman Kolonialisme di Bali. Penjajah belanda membentuk LEMBAGA BALISEERING, sebagai dalih pemerhati budaya Bali (Politik etis). Lembaga Baliseering meminjam semua lontar lontar yang ada di Bali dengan alasan mau diperbanyak supaya bisa dipelajari oleh semua umat Hindu.

Dalih tersebut ternyata hanya akal akalan saja, karena setelah Lontar tersebut di REPRODUKSI  secara Masal, Ternyata   ISINYA TELAH DITAMBAH TAMBAHIN DAN DI 
ROBAH SESUAI SELERA KOLOONIAL DAN SELERA MISIONARIS.

Dan Lotar hasil reproduksi Kolonial dan Misiomaris tersebut tidak boleh dibaca oleh kebanyakan (sembarang)  Umat Hindu di Bali  yang terkenal dengan istilah  AJJEWERE (sing dadi Bace nden Buduh). Dan hanya boleh dibaca oleh   orang/kelompok  tertentu saja.
Dengan maksud?? Menyembunyikan niat jahatnya.  

Hal ini bertentangan dengan perintah Kitab suci Weda (Sastrawiddhi) Yayurweda XXVI.2 , yang berisi perintah untuk membaca dan mewartakan seluruh isi kitab Weda (Sastra) tersebut. : Yathemam vacam kalyanim avadani janebhyah, Brahma rajanyabhyam sudraya caryaya ca svaya caranaya ca / hendaknya wartakan sabda suci ini kepada seluruh umat manusia, baik kepada para Brahmana, para raja-raja maupun kepada masyarakat pedagang, petani dan nelayan serta para buruh, kepada orang-orangku maupun orang asing sekalipun.

Di Umat Hindu India
Upaya mengacaukan Kitab suci Umat Hindu baik yangt tertulis di Lontar (di Bali) maupun yang ditulis di Kertas (di India) dilakukan secara sistematis oleh kaum Misionaris yang mendomplengi Kolonialisme, untuk membuat Umat Hindu tidak percaya dengan kitab Sucinya (WEDA)

Kedok para Misionaris berkedok Indolog dan pemerhati adat dan budaya dengan politik etisnya terbongkar,  setelah surat surat Max Muller kepada istrinya, di publikasikan  di London dan New York tahun 1902 sebagai berikut :
“Penerjemahan Weda selanjutnya akan memberitahu untuk sebagian besar pada nasib India terhadap pertumbuhan jutaan jiwa negeri itu, ini adalah akar dari agama mereka, dan untuk menunjukkan kepada mereka apa akar adalah saya merasa yakin, adalah satu-satunya  Cara mencabut semua yang telah bermunculan dari itu selama 3000 tahun terakhir”.

Juga salinan trasnkrip Pidato William Jones, Kepala The Asiatic Society of Bengal dihadapan para Misionaris sbb :
“Kalian para misionaris ini terlalu bodoh, bagaimanapun upaya kalian baik para zending (misionaris) Protestan maupun Katolik tidak akan mampu mengkonversi orang-orang Hindu, sebab mereka sangat kuat keyakinan mereka terhadap kitab-kitab sucinya. Satu-satunya cara agar orang-orang Hindu mau pindah menjadi umat Kristen adalah mengacaukan isi kitab suci mereka. Posisikan kitab mereka lebih rendah dari kitab Injil dan angkat setinggi-tingginya kitab Injil” .(The true history and the religion of India, dalam I Ketut Donder. Media Hindu edisi 92, Oktober 2011 halaman 44-45).

Menurut Swami Prakasanand Saraswati :  “Ada dua rencana rahasia yang disusun secara teliti oleh William Jones sebagai wakil kolonialis Inggris di Kalkuta. Rencana pertama : penyesatan kitab suci Weda Termasuk sejarah India.   Rencana Kedua : Menerapkan TEORI rasialis Kasta dengan   maksud agar terjadi perpecahan pada masyarakat india,  Kedua rencana tersebut dijalankan secara simultan.

Bahwa dalam  www.wikipedia.org/wiki/wlliam-jones (philologis), disebutkan : William Jones lah yang pertama kali mengusulkan pembagian rasial (kasta) di India yang melibatkan teori Invasi Arya-nya Max Muller. Usulan pembagian kasta di India didukung  oleh  Herbeith Hope Risley, administrator Inggris di India. ( Lihat William Jones dalam www.wikipedia.org/wiki/wlliam-jones (philologis).

Bahwa Th. 1891 Herbeith Hope Riesly Administrator Kolonial Inggris di India menerbitkan  buku berjudul STUDY ETNOLOGI INDIA. Dan pada tahun 1901 Herbeith Hope Risley mengesahkan teori rasialis (kasta) Max Muller dan William Jones menjadi Undang-undang Kolonial yang diberlakukan diseluruh anak benua India. Kolonial Inggris  Mengesahkan UU Kolonial di India dengan mengadopsi Catur Warna versi Kaum Indolog.   

Bahwa Thomas Trautman menyebut publikasi-publikasi tulisan Risley yang berjudul Study Etnologi di India (1891) sebagai teori rasial peradaban India. Trautman mengganggap H.H.Risley dan Max Muller sebagai arsitek kasta-isme di India.   (www.wikipedia.org/herbeit hope risley)

Dari hasil upaya dan strategi misionaris Kristen yang berkedok Ilmuwan Indolog (Pencinta Adat, Budaya  dan Agama Hindu) tersebut berdampak negatif terhadap  Agama Hindu di seluruh dunia sampai kini.

Dari publikasi tulisan-tulisan Indolog (Max Muller dkk) tersebutlah muncul istilah Kasta yang selalu dikait-kaitkan dengan Agama Hindu.


Di Umat Hindu Bali
Bahwa umat Hindu di Bali JUGA tidak lepas dari cengkaraman Misionaris. Para Misionaris Kristen datang ke Bali dengan  mendomplengi Kolonialis Belanda.
Dengan Politik Etisnya (Baliseering),  Kolonial Belanda membentuk RAAD VAN KERTHA th. 1882 M dan Mengesahkan UU Kolonial di Bali th 1910 M. Serta  mengangkat para hakim pengadilan Raad Van Kerta dari kalangan Sulinggih. 

Menurut Geoffrey Robinson, tidak jarang mereka -  para Hakim Raad Van Kertha  tidak mengerti bahasa Melayu dan tidak mengerti Hukum Hukum  Hindu.  Untuk keperluan itu Kolonial Belanda memproduksi dan memperbanyak lontar lontar, Antara lain lontar lontar :  Purwagama, Adigama, Agama, Kutara Manawa dan masih bahyak lagi lontar lontar, yang diterjemahkan dari aslinya berbahasa Kawi (Jawa Kuno) kedalam bahasa Bali dan bahasa Melayu untuk dijadikan pegangan oleh para Hakim Raad Van Kertha.
Geoffrey Robinson mengomentari hal ini sebagai "REKAYASA TRADISI BALI YANG PALING MENCENGANGKAN OLEH KOLONIAL BELANDA". (Geoffrey Robinson; Sisi Gelap Pulau Dewata, 2005 halaman 51).

JADI
Secara sosial politik ajaran Catur Warna telah DISIMPANGKAN untuk dipergunakan sebagai  pemecah belah umat Hindu (Devide et Impera).


KESIMPULAN :
BAHWA DENGAN DEMIKIAN,  DEMI KEMULIAAN WEDA DAN KEMURNIAN LONTAR LONTAR SUCI UMAT HINDU DI BALI, SAYA BERPENDAPAT  BAHWA :

  1. Lontar Widisastra Tarpini dan Lontar Yadnya Prakerti yang merupakan Lontar panduan bagi para sulinggih dan Jro Mangku tentang Upakara dan bebantenan (pecaruan)  telah disusupkan hal hal yang tidak terkait dengan Caru dan Banten.
  2. Lontar Widisastra Tarpini dan Lontar Yadnya mengandung Unsur  Menyimpangan Weda untuk dipergunakan sebagai  pemecah belah umat Hindu (Devide et Impera). dengan memanipulasi Yayurweda XXXI.11
  3. Lontar Widisastra Tarpini dan Lontar Yadnya Prakerti mengandung Unsur yang sengaja disusupkan untuk menyesatkan Umat Hindu terhadap keyakinan nya terhadap Kitab suci Weda
  4. Lontar Widisastra tarpini dan Lontar Yadnya Prakerti mengandung unsur yang sengaja disusupkan untuk   menistakan Agama Hindu.
  5. Lontar Widisastra Tarpini dan Lontar Yadnya Prakerti mengandung unsur yang sengaja disusupkan untuk MENISTAKAN  keluarga Ki Bandesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki Dangka, Ki Kubayan, Ki Ngukuhin dan Ki Salain.
  6. Lontar Widisastra Tarpini dan Lontar Yadnya prakerti berpotensi disalah terapkan dan disalah gunakan  di masyarakat Hindu di Bali.
  7. Tulisan dalam Lontar Widisastra tarpini dan Lontar Yadnya Prakerti telah menimbulkan kesalah pahaman di sebagian kelompok Warga umat hindu terhadap STATUS KESULINGGIHAN keluarga :  Ki Bandesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki Dangka, Ki Kubayan, Ki Ngukuhin lawan Ki Salain.
  8. PATUT DIDUGA Bahwa :  lontar Widisastra Tarpini dan lontar Yadnya Prakerti adalah  lontar lontar RE PRODUKSI kolonial   atas PESANAN MISIONARIS yang  telah di susupkan Kepentingan Kolonialis : Devide et Impera

BAHWA MELALUI SURAT INI SAYA MEMOHON :

  1. Supaya dikeluarkan Bhisama untuk menghapus nama nama : Ki Bandesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki Dangka/Ki Adangka, Ki Kubayan, Ki Ngukuhin lawan Ki Salain/ Salahin  dari  Lontar lontar Widisastra Tarpini dan Lontar Yadnya Prakerti serta di lontar lontar  lain yang juga memuat nama nama Leluhur orang Bali dalam penjabaran   Yayurweda XXXI.11.
  2. Dan apabila tidak bisa dilakukan penghapusan nama nama Ki Bandesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki Dangka/Ki Adangka, Ki Kubayan, Ki Ngukuhin lawan Ki Salain/ Salahin  dari  Lontar lontar Widisastra Tarpini dan Lontar Yadnya Prakerti maka ke dua lontar tersebut HARUS di Musnahkan.
Bahwa dengan di berlakukannya UU Penistaan Agama dan Pencemaran nama baik, maka : Penulis (anonim), Pencetak dan Penyebar Lontar lontar diatas DAPAT DIADUKAN KE PIHAK BERWAJIB, dengan Delik Penistaan Agama, Penistaan terhadap warga dan Pencemaran nama baik.
Om Santi Santi Santi Om
Matur Suksme.

Lampiran :
Berikut saya lampirkan Juga tulisan  dalam Lontar berjudul : Lontar Tutur Upadesa,  untuk  memperkuat Asumsi kerja Misionaris berkedok Baliologi di Bali (mohon diperhatikan yang saya tulis dengan huruf besar dan saya tebalkan)

TERJEMAHAN LONTAR TUTUR UPADESA  (oleh Putu Yudiantara-Bali Wisdom)
19b. Ini adalah nasehat yang amat mulia, namanya, hendaknya diketahui olehmu dengan sangat baik,  janganlah sampai salah dan menyimpang, karena sangat buruk akibatnya, dan sangat  buruk balasannya, berumur pendek, dan akan mendapatkan celaan dan kutukan, hendaknya diketahui asal mula adanya para dewa di dalam diri,  jika telah paham olehmu, maka pahalanya segala penyakit akan menjauh. Adalah  Dewi Uma,  namanya, pada saat beliau turun, ke  dunia nyata, dan turun di pemakaman Malaya, dikatakan Dewi Uma tersesat,  dari sanalah, beliau menjadi Dewi Durga, sebagai penebusan dari  seorang isteri  yang utama,  bertempat di  dalam hati, itulah penyatuan,  Siwa, Sadasiwa,  Paramasiwa, Siwasunya,  Siwa, namanya, Ki ADHAM, Sadasiwa, namanya, Ki ASIH, Paramasiwa,  namanya Ki YAYAB, Sunyasiwa, namanya, Ki  WABHAD, istri utama,  namanya,  Ni WAREM , inilah  penyatuan  yang maha tinggi, di …
                                                            

Jumat, 06 April 2018

SEJARAH KASTA DI BALI

Oleh : I Nyoman Mudiarcana

Kata Pengantar

Buku pelajaran sejarah untuk kelas XB terbitan Viva Pakarindo, Klaten Jawa Tengah pada halaman 38 menulis sebagai berikut :

Di India, sistem kasta lahir dan berkembang bersamaan dengan munculnya agama Hindu. Ketika agama dan Kebudayaan Hindu mulai berkembang di Indonesia, sistem kasta tidak berlaku mutlak seperti di India. Masyarakat Hindu Indonesia mengenal sistem kasta dalam ajaran agamanya, tetapi tidak menerapkan dalam kehidupan sehari-hari dan menyesuaikan sistem kasta dengan keadaan masyarakat Indonesia.

Dalam penyusunan materi buku sejarah tersebut, penulis mengaku menggunakan sumber literatur yang sesuai dengan kurikulum KTSP 2006 diantaranya dari :

  1. Wawasan Sejarah 1 Indonesia dan Dunia Kelas X SMA dan MA, dengan pengarang Shodiq Mustafa, Terbitan Tiga serangkai, Solo,   2007...halaman 96.
  2. Mandiri (Mengasah Kemampuan Diri) Sejarah SMA/MA Kelas X, pengarang Leo Agung dan Dwi Ari Listiyani, Terbitan Erlangga, Jakarta, 2009..halaman 60”
______________________________________________________________________


Di Indonesia Kasta tidak pernah ditemukan sampai akhir kerajaan Hindu Majapahit  abad 14 akhir. Kasta baru ada di Indonesia setelah kerajaan Hindu  Majapahit runtuh.  

Bukti-bukti sejarah Kasta tidak ada di Indonesia semasa kerajaan Hindu diantaranya sebagai berikut :

  1. Mpu Sendok, seorang Brahmana, anak-anaknya menjadi Ksatrya di  Medang Kemulan
  2. Ken Arok, seorang penyamun  di hutan-hutan Jawa Timur, dari keluarga yang bukan ksatrya ataupun brahmana. Bisa menjadi Raja (ksatrya) di Singosari.
  3. Mahapatih Gadjah Mada, Perdana menteri Majapahit, lahir dari keluarga yang tidak diketahui ( bukan dari keluarga atau keturunan Ksatrya maupun  Brahmana), Kemudian menjadi Ksatrya terkemuka Indonesia sepanjang sejarah Indonesia.
  4. Damar Wulan, Seorang pengangon kuda ( tukang arit rumput ), kemudian bisa menjadi Raja (Ksatrya) di Majapahit dan berganti nama menjadi Brawijaya.
  5. Kebo Iwa, tukang gali tanah dan tukang membuat sumur, berkat keperkasaannya bisa menjadi Patih (Ksatrya) di Bali pada masa Raja Ratna Bumi Banten.
  6. Ketut Kresna Kepakisan, anak seorang Brahmana dari Jawa Timur, menjadi Adipati (Ksatrya) di Samprangan Bali dengan gelar Sri Kresna Kepakisan.
  7. Patih Ulung,  ayahnya seorang Mpu/  Brahmana, warga pasek sanak pitu,  bisa menjadi Patih/Ksatrya.
  8. Arya Tatar - pejabat kerajaan Singosari, keponakan Kendedes. Ayah nya seorang Mpu/Brahmana - warga Pasek Sanak Pitu, bisa menjadi Ksatrya membantu bibi dan pamannya : Ken Arok - Ken Dedes.  Arya Tatar di Bali  menurunkan Pasek Pidpid dan Pasek Bale Agung Buleleng yang menurunkan Ir. Soekarno
  9. I Gusti Agung Pasek Gelgel, katurunan seorang Mpu/Brahmana, bisa menjadi Ksatrya yaitu menjadi Raja Bali (1345-1352 M), sebelum Kresna Kepakisan diangkat  sebagai raja Bali.


Apa kasta seorang Perampok/ Bromocorah?, Apa Kasta seorang Pengangon Kuda?, Apa Kasta seorang tukang gali Sumur?.  Ken Arok, Gadjah Mada,  Damar Wulan maupun Kebo Iwa jelas bukan berasal dari kasta Brahmana, bukan Ksatrya, bukan pula Wesya. Tetapi bisa menjadi Ksatrya berkat proses belajar dan keterampilan yang dimilikinya. Bukan karena keturunan.


Kasta mulai ada di Indonesia setelah runtuhnya Majapahit dan terpengaruhnya pemikiran para “Brahmana” oleh pemikiran kaum Indologis.


Di Indonesia Kastaisme mulai menyebar setelah Runtuhnya kerajaan Hindu Majapahit tahun 1478 M, hampir berdekatan waktunya dengan jatuhnya kerajaan Goa di India oleh Portugis tahun 1511, serta  Era penyebaran konsep-konsep agama Kristen (Kristenisasi) ke-seluruh dunia yang ditandai dengan Kolonialisasi dan perbudakan. 

Pada akhir masa Majapahit terutama awal abad ke 15 ,  kastaisme  mulai menyebar. Banyak Ksatrya, Cendekiawan maupun Brahmana Hindu mulai terpengaruh propaganda misionaris Kristen dan kaum Adharma lainnya. Mereka melupakan swa-dharmanya sebagai ksatrya dan brahmana tergoda oleh Harta Kuasa dan Wanita.  

Raja Majapahit Kertabumi ( 1456-1478 ) yang sudah tua renta tergoda wanita hadiah para Wali. Wanita yang tidak jelas asal-usulnya selalu membujuk Kertabumi untuk meninggalkan agama Hindu agama leluhur Majapahit dan ikut agama Istrinya.

Di Jawa Barat, Raja Pajajaran Prabu Siliwangi terbujuk rayuan Nyai Subang Larang,  yang kemudian bersama  keturunan-nya menentangnya, sehingga Sang Prabu harus melarikan diri dari Istananya dan hidup terlunta-lunta menyamar sebagai  Anak Angon (gembala)  hidup di hutan.

Para Brahmana dan cendekiawan tersesatkan oleh pemikiran-pemikiran baru dari Eropa dan Arab, mereka mengadopsi konsep-konsep kasta dan perbudakan tanpa dinilai secara kritis. Parahnya lagi, para Brahmana lebih banyak berkumpul disekitar keraton, guna melegitimasi kebijakan raja  menjadi Bhagawanta Kerajaan.  Akhirnya rakyat tertinggal dibidang tattwa keagamaan nya, sehingga dengan mudah di Konversi dan jadi jajahan asing. Majapahit-pun runtuh tahun 1478, diikuti oleh Pajajaran, dan pusat pemerintahan dilanjutkan oleh Demak Bintoro.

Pada masa pemerintahan Demak dan Mataram Islam,  Kasta makin tumbuh subur di tanah Jawa. Gelar tokoh agama di Jawa/ Indonesia  seperti ; KH,Habib,Abu, Syekh dll. Dan Bangsawan Jawa makin beraneka ragam,  seperti :  R. RA. GPA. GPAA. KRT. GKR, GPH. GB, GPB dll. Masyarakat Jawa terkotak-kotak menjadi kelompok Kiyai, kelompok Habib, kelompok  Saudagar, Priyayi dan Wong Cilik.

Sebelumnya Gelar Bangsawan di Jawa/  Indonesia cukup dipanggil Raden, sedang raja dipanggil Sri, seperti Raden Wijaya, Sri Wijaya, Sri Dharmawangsa dan tokoh Agama dipanggil Mpu, seperti Mpu Sendok, Mpu Sedah, Mpu Beradah, Mpu Tantular dll.

Keberadaan Kasta dan perbudakan di Bali

Kehancuran Majapahit tahun 1478, bukannya menjadi pelajaran bagi umat Hindu di Bali. Seorang pedarmayatra (“pegungsi”) dari Majapahit diangkat menjadi Bagawanta kerajaan di Gelgel. Beliau adalah Danghyang Nirarta.

Tahun 1489, sebelas tahun setelah Kerajaan Majapahit Runtuh,  Daghyang Nirarta datang ke Bali dengan membawa ajaran-ajaran yang sudah dipengaruhi oleh peta politik global saat itu (peta politik global abad 14-16 M ), yaitu konsep kasta-kasta dan perbudakan. Danghyang Nirartha juga melarang anak-anaknya menyembah patung - patung. (lihat : Bisama Danghyang Nirartha kepada keturunannya), ini jelas mengadopsi Al Quran yang menganggap patung sebagai Berhala.

Di Lombok Danghyang Nirarta mengajarkan Islam wetu telu, ajarannya dapat dilihat dalam geguritan Islam wetu telu, beliau bergelar Haji Duta Semeru, konon entah benar apa tidak beliau sudah pernah naik haji ke Mekkah dan namanya menjadi Haji Gureh (Singgih Wikarman, 1998). Ada ceritra kesamaan kemampuan antara Danghyang Nirarta dengan Syekh Siti Jenar - tokoh sufi (Islam) yang dianggap Murtad oleh para Wali,  yaitu sama-sama mampu menghidupkan cacing jadi manusia.

Menurut Babad Brahmana: “sewaktu Danghyang Nirarta tiba di Bali, terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan. Putri beliau yang bernama Ida Ayu Swabawa dicemari dan diperlakukan tidak senonoh oleh penduduk. Mendengar kisah sedih putrinya tersebut, Danghyang Nirartha berkenaan memberikan ajaran ilmu Rahasya keparamartaan yang mampu melenyapkan segala dosa. Setelah menerima ajaran itu Ida Ayu Swabawa lenyap menggaib dan berhasil mencapai alam Dewa, dan di stanakan di Pura Pulaki sebagai Dewi Melanting   Adapun orang-orang yang menodai Ida Ayu Swabawa dikutuk menjadi wong Gamang di desa Pegametan”.(Soebandi, 1998)

Kisah Ini merupakan upaya pemurtadan terhadap keyakinan agama Hindu, kerena umat Hindu digiring untuk mengganti peran Dewi Sri Laksmi - Sakti Dewa Wisnu/Betare Sedana, sebagai Dewa-dewi pemberi kemakmuran dan kesejahteraan,  dengan Ida Ayu Subawa seorang anak manusia yang dinodai oleh penduduk yang tiada lain adalah anaknya sendiri dan kemudin diperkenalkan kepada umat sebagai Dewi Melanting. .

Selanjutnya dalam Babad tsb juga disebutkan “Ketika Danghyang Nirarta memberikan ajaran Ilmu rahasya kepada putrinya itu, ternyata didengar oleh insan berwujud seekor cacing kalung, cacing kalung tersebut, tiba-tiba supa (musna) dosa papanya dan seketika menjelma menjadi Manusia perempuan dan  diberi nama Nyi Berit”.  

Kisah ini mencerminkan sikap “ rasis (kastaisme)” dan sikap  “megalomania-nya”  si penulis babad Brahmana,  karena  menggatakan  Nyi Berit sebagai Jelmaan Cacing kalung. Karena sejatinya Nyi Berit adalah penduduk Bali yang lebih dahulu menetap di Bali (Bali Age) yang kebetulan hidupnya saat itu kurang beruntung. Sikap rasis dan superior  ini ternyata berbuah karma, karena dikemudian hari Nyi Berit ini melahirkan anak dari Danghyang Nirartha. 

Dalam babad Brahmana juga ditemukan kalimat :   "rambut beliau Danghyang Nirartha di-Stanakan di Pura Kapurancak yang disebut SINIWI DI KAPURANCAK, sehingga Pura tersebut disebut PURA RAMBUT SIWI". 

Penyebutan rabut Danghyang Nirartha yang Siniwi di Kapurancak supaya dipuja oleh umat Hindu Bali seluruhnya,  mencerminkan kepribadian si penulis Babad yang mencoba mengeser keyakinan Umat Hindu Bali yang semula memuja Betare Rambut Sedana sebagai manifestasi Dewa Wisnu bersama Saktinya Dewi Sri-laksmi,  diganti oleh beliau Danghyang Niratha bersama anaknya Ida Ayu Swabawa. 

Betare Rambut Sedana merupakan manifestasi Dewa Wisnu didampingi oleh saktinya dewi Sri Laksmi, bertugas memberikan kesejahteraan, kemakmuran dan harta benda kepada para pemuja yang setia memuja beliau setiap hari. 

Umat Hindu yang pernah membaca lontar Wawacan Sulanjana atau mendengar Ceritra Rakyat Jawa mengetahui bahwa Dewi kesuburan dan kesejahteraan (Dewinya Padi dan Tumbuh-tubuhan bermanfaat) adalah Dewi Sri atau disebut juga Sanghyang Asri.  Dewi Sri atau Sanghyang Asri distanakan di Sawah-sawah dan lumbung padi. Jadi yang disebut  Dewi Melanting bukanlah Ida Ayu Swabawa melainkan  Dewi Sri Laksmi- sakti dari Betare Rambut Sedana (Wisnu).  Sedangkan Betare Rambut Sedana  adalah nama lain dari Dewa Wisnu yang bertugas memberikan kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan kepada para Bhakta-nya. 

Karena dianggap "Sakti" dan  "mumpuni dibidang agama"  pada zamannya maka Danghyang Nirarta diangkat menjadi Bagawanta kerajaan di Gelgel. Pada saat itu yang menjadi penguasa di Gelgel adalah Dalem Waturenggong (1460-1550 M).   

Tidak berapa lama setelah  menjabat sebagai Bhagawanta Kerajaan Gelgel,   Danghyang Nirarta sang puruhita kerajaan gelgel menerapkan teori RASIS (Kasta) yang sejak semula telah menjadi Ideologinya,  dan  merestukturisasi masyarakat Bali menjadi berbagai macam kasta.

Dengan mengadopsi  DALIL-DALIL WEDA  versi kaum misionaris Kristen-Portugis  di India maka  Catur Warna diadopsi  menjadi Catur Kasta ( dari bahasa Portugis : Caste) dan ditetapkan menjadi Awig-Awig (peraturan kerajaan).

Untuk mendukung gagasan-nya membentuk kasta-kasta di Bali,   Danghyang Nirarta menuliskannya dalam lontar “Widhi sastra sakeng niti Danghyang Nirarta”  (Singgih Wikarma 1998 : Leluhur orang Bali dari dunia babad dan sejarah.  Penerbit Paramita, Surabaya, halaman 63).


Ini Lontarnya itu :
Gambar dalam perbaikan


Dan ini Terjemahan dari aslinya :
Gambar dalam perbaikan


Semenjak itu munculah Kasta yang dilekatkan kepada agama Hindu di Bali. Kasta Brahmana yang isinya terdiri dari anak-anak keturunan Danghyang Nirarta, termasuk juga keturunan  yang sebelumnya dikatakann sebagai “supa-an-cacing kalung”(Nyi Berit), dan anak yang dikatakannya PENYEROAN (asisten rumah tangganya Bendesa Mas) yang  bernama Ni Patapan.  Kasta Ksatrya diberikan kepada keturunan dalem Gelgel, di kecualikan  kepada keturunan Dalem Taruk yang ditetapkan sebagai Sudra.  Kasta Wesya ditetapkan kepada Keturunan  Majapahit yang menyertai Dalem Samprangan, Sedangkan Kasta sudra ditetapkan kepada penduduk Bali Age/


Sistem Baru ini mengabaikan Sastra-Sastra, lontar-lontar Agama Hindu,  maupun Prasasti-prasasti yang sudah ada di Bali sebelumnya,  seperti prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja Udayana mapun raja Anak Wungsu.  

Pada Prasasti Bila, yang dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu  tahun 995 C atau 1073 M), M) menyebutkan peran para Brahmana.  Itu berarti yang disebut Brahmana pada zaman itu pasti bukan Anak cucu Danghyang Nirartha, karena Danghyang Nirartha baru tiba di Bali th. 1489 M  atau hampir 500 th setelah prasasti Bila diterbitkan. Yang disebut para Brahmana pada prasasti Bila th. 995 C (1073 M)  pastilah Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana,  serta para Bhamana keturunan Rsi Markandeya dan Mpu Kepandean yang sudah Dwijati (Mpugdala) yang membantu raja Anak Wungsu. 

Seperti dicatat dalam sejarah, bahwa pada saat Prabu Udayana menjadi raja di Bali (989-1011M), terdapat 9 sampradaya (sekte agama Hindu) di Bali. Untuk membangun agama Hindu di Bali, Prabu Udayana meminta bantuan 5  Brahmana bersaudara yang berasal dari JAMBUDWIPA/INDIA ( I Gusti Bagus Sugriwa : Babad Pasek. Penerbit Balimas Dps. Halaman 15) yang menetap di Jawa Timur, diantaranaya : Mpu Rajakerta  yang kemudian menjadi Senopati Kuturan sekaligus Bhagawanta Kerajaan,  didampingi oleh saudara-saudaranya : Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Gnijaya. Sedangkan adiknya yang paling kecil Mpu Baradah tetap tinggal di Jawa diminta oleh Raja Airlangga (Anak Prabu Udayana - kakak dari Anak Wungsu) menjadi Bhagawanta kerajaan di Kahuripan- Jawa Timur. 

Setelah kasta-kasta ini disahkan di Bali,  diberlakukan  pula perbudakan. Raja-Raja Bali dengan dukungan Kelompok “Brahmana hasil Strukturisasi “,  membuat awig-awig untuk mengesahkan perbudakan. Menghukum rakyat Bali yang beragama Hindu (awig-awig tersebut tidak berlaku bagi umat selain umat Hindu) yang melanggar awig-awig sebagai budak dan boleh di jual oleh Raja.  Raja-raja Bali memperoleh harta untuk membangun Puri-purinya yang megah dengan mengekspor para budak ber-agama  Hindu kepada Kompeni di Batavia. 

Sistem Kasta dan Perbudakan ini jelas mengadopsi konsep-konsep Injil dan per-budakan dalam  masyarakat Arab dan Eropa tanpa reserve. Karena dalam Agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta dan Perbudakan.

Sistem Perbudakan yang dijadikan komoditas Ekspor oleh Raja-Raja Bali, menyumbang hampir 60 % budak-budak kepada VOC di Batavia. Budak-budak beragama Hindu dari Bali  di jual ke Batavia, Hindia Barat, Afrika Selatan, dan pulau-pulau di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sebagai contoh: klan Sudira di Depok yang disebut “Belanda Depok”, adalah orang  yang berasal dari Gianyar dan tidak ada sedikitpun identitas ke Hinduan atau Bali nya yang tersisa, hanya saja  kalau kita tanya mereka mengaku kakeknya berasal dari Gianyar-Bali, Demikian juga Untung Surapati, budak belian berasal dari Bali berkat perjuangannya yang gigih dan kecerdasannya bisa menjadi Tumenggung di Pasuruan - Jawa Timur tetapi identitas ke Hinduan-nya sedikitpun tidak tersisa. 

Para Durjana menguasai Umat Hindu

Dari manakah Raja-Raja Bali saat itu mendapat ilmu tentang perbudakan dan kasta-isme?, Apa sumbangan para “Brahmana” dan para Raja Bali saat itu ( abad 14-19 ) terhadap  umat dan Agama Hindu?, Kenapa para Durjana serakah bisa menguasai umat Hindu di Bali saat itu ?.

Inilah tanda-tanda kehancuran Agama Hindu di Indonesia. Karena para “Brahmananya”  tergoda oleh  prestise pribadi, harta dan  kuasa. Para Brahmana dan Raja tidak cerdas mengamati peta politik global, tidak peduli terhadap ajaran kitab suci Weda. Para Raja bermahkotakan Emas, dan Para Brahmana juga berkalung dan ber Ketu (mahkota) bertatahkan permata dan emas, sementara rakyat/umat-nya telanjang tanpa busana, fenomena ini sangat menarik minat wisatawan Eropa datang ke Bali, untuk melihat kemolekan gadis-gadis Umat Hindu Bali yang ber-telanjang dada mondar-mandir dijalan. Dan ini membanggakan para raja-raja Bali untuk kembali mendatangkan dolar.

Sebelum kedatangan Danghyang Nirarta, tidak ada kasta-kasta maupun Budak dari Bali.  Umat Hindu di Bali tidak ada yang bernama Anak Agung, Ida Bagus, Cokorda, maupun I Dewa. Silahkan lacak nama-nama orang Bali pada Babad-babad, kapan nama-nama itu mulai muncul dalam khasanah nama-nama orang Bali. Tidak ada yang namanya AA.IB. IC. ID,IGN IGst, maupun I Wayan yang mengaku Brahmana, Ksatrya, maupun Sudra.  Martabat orang Bali ditentu-kan oleh perilakunya. Warna nya ditentukan oleh pekerjaannya. Bahkan Sri Kresna Kepakisan raja Pertama Gelgel  sebelumnya bernama Ketut Kresna Kepakisan, karena merupakan anak ke 4 dari Danghyang Kepakisan seorang Brahmana dari Jawa Timur. Kresna Kepakisan tidak bernama Ida Bagus Kresna Kepakisan, meskipun beliau anak seorang Brahmana, tidak juga  memakai nama Anak Agung atau I Dewa Kresna Kepakisan, meski beliau menjadi raja diraja Bali. Namanya cukup menjadi Sri Kresna Kepakisan.

Begitu pula raja-raja Bali maupun Jawa sebelumnya seperti; Sri Ugrasena, Sri Kesari Warmadewa, Sri Udayana, Sri Wijaya, Sri Dharmawangsa dll, cukup memakai gelar Sri, sedangkan panglima perang pejabat kerajaan lebih senang memakai nama-nama binatang, seperti;  Kebo Iwo, Kebo Parud, Gadjah Mada, Gadjah Maruga, Patih Wulung, dll.  sebagai tanda bahwa Agama Hindu  dan adat Bali/Jawa saat itu  sangat egaliter.  Salah seorang anak Sri Kresna Kepakisan, yaitu Dalem Taruk anak anaknya bernama I Gede Pulasari, I Gede Bandem, I Gede Balangan, Merupakan generasi ke 3 Dinasti Kepakisan, tidak memakai gelar bentukan Danghyang Nirarta dan Dalem Waturenggong.

Kasta di Bali pada masa kolonial

Th. 1882, kolonialis Belanda mendirikan Raad Van Kerta, mahkamah adat Bali, dengan alasan politik etis. Hakim-hakim pada Raad Van Kerta diisi oleh para Pedande (bukan Sri Empu, Bujangga Wisnawa maupun Rsi), meskipun tidak jarang mereka tidak mengerti masalah hukum, dan tidak mengerti  teks-teks hukum keagamaan seperti Agama, adigama, purwa agama dan kutara agama yang ditulis dalam bahasa jawa kuno.   

Belanda membantu pegangan para hakim Raad Van Kerta dengan menterjemahkan teks-teks tersebut kedalam Bahasa Melayu dan bahasa Bali untuk digunakan sebagai acuan hukum oleh anggota Raad Van Kerta.

Terjemahan teks-teks dari bahasa Jawa kuno kedalam bahasa Melayu dan bahasa Bali disesuaikan dengan selera dan kepentingan kolonialisme dan misionarisme. Hal ini sama dan sebangun dengan upaya Max Muller beserta kawan-kawannya  dalam menter-jemahkan kitab Weda yang disesatkan untuk diterapkan pada masyarakat Hindu di India. Geoffrey Robinson mengomentari hal ini sebagai rekayasa tradisi Bali yang paling mencengangkan oleh Kolonial Belanda.
(Geoffrey Robinson; Sisi Gelap Pulau Dewata, 2005 hal. 51).

Kitab Agama, adigama, purwa agama dan kutara agama, sewaktu diterapkan oleh Raja-Raja Hindu di Jawa, tidak pernah menerap-kan kasta-kasta, karena  tidak ada satu kata pun dalam kitab Hukum Hindu maupun kitab Weda yang berisi kata kasta. 

Kasta  tidak dikenal dan merupakan kata asing bagi umat Hindu, apalagi menjadikan para pesakitannya sebagai Budak.  Kasta dan Budak adalah akal-akalan kolonialis semata, sebagai cerminan tradisi kitab Injil dan Al Quran yang diberlakukan di Arab dan Eropa.

Pada tahun 1910 kolonialis Belanda mengikuti jejak rekan Eropa-nya di India yaitu kolonialis Inggris,  mendukung penetapan konsep kasta sebagai fondasi prinsipil masyarakat Bali. Dengan demikian koloni-alis Belanda, melegalkan dan meneguhkan hierarki kasta beserta seperangkat aturan menyangkut hubungan antar kasta dan hak-hak istimewa kasta, yang sebelum-nya tidak pernah ada dalam praktek di Bali.  Dalam kata-kata V.E. Korn, orang Belanda, pakar Bali dan kontrolir Badung 1925  : "Bukan saja triwangsa diberi tempat yang terlalu penting, tetapi juga dilindungi melalui sederet pasal-pasal yang sangat jauh melampaui para raja dan teks-teks hukum tempo dulu". Pendeknya, apa yang diartikan sebagai usaha Belanda untuk bergiat dalam “tradisi” Bali sebagai politik etis, sebetulnya adalah penciptaan tatanan hierarki baru yang pasti, di mana kekuasaan golongan kasta tinggi lebih besar daripada sebelumnya, dan terlebih lagi di sahkan oleh struktur legal, ideologis dan koesif negara kolonial. (Geoffrey Robinson,Sisi Gelap Pulau Dewata, 2005 halaman 51)



Pemurtadan Umat Hindu makin menjadi-jadi dengan tujuan Konversi

Umat Hindu telah dibuat tersesat oleh sarjana pseudoilmiah dan misionarisme, juga oleh umat Hindu sendiri yang tercemar pemikiran misionaris dan tidak kukuh mempertahankan Dharma.  Penyesatan tersebut bahkan sampai ketingkat pemurtadan, menentang perintah kitab suci Yayur Weda XXVI.2  : Yathemam vacam kalyanim avadani janebhyah, Brahma rajanyabhyam sudraya caryaya ca svaya caranaya ca artinya :  hendaknya wartakan sabda suci ini kepada seluruh umat manusia, baik kepada para Brahmana, para raja-raja maupun kepada masyarakat pedagang, petani dan nelayan serta para buruh, kepada orang-orangku maupun orang asing sekalipun.

Juga pemurtadan Sloka BG. XVIII.70 : Adhyesyate ca ya imam,  dharmyam samwa-dam awayoh,jnanayajnena tena‘ham, istah syam iti me matih/ Mereka yang membaca percakapan-Ku ini, oleh  mereka Aku telah dipuja dengan  yadnya  Ilmu Pengetahuan. Demikian  telah Aku nyatakan.

Sraddhawan  anasuyas ca, srinuyad api yo narah,  so’pi  muktah subham  lokan, prapnuyat punyakarmanam (BG.XVIII.71) Artinya :  Orang yang mempunyai keyakin-an dan tidak mencela Orang seperti itu, walaupun hanya sekedar mendengar orang berbicara kitab suci. Ia juga akan dibebaskan, mencapai dunia kebahagiaan sebagai manusia yang berbuat kebajikan.

Rakyat Bali yang bukan “berkasta Brahmana “ dilarang belajar Weda. Hanya mereka yang menyebut dirinya kasta “Brahmana” saja yang boleh belajar agama. Agama dimono-poli oleh Satu kelompok, sedang rakyat tidak boleh belajar Agama Hindu, kalau belajar Agama Hindu nanti bisa Buduh (=gila)  katanya. Bahkan Konon buku-buku Resi Gotama terbit berisikan perintah untuk mengecor mulut orang-orang diluar Kasta Brahmana, apabila berani membaca Weda, memerintahkan untuk mengecor dengan timah panas telinga orang-orang diluar kasta Brahmana kalau berani mendengar mantra/seloka Weda.  Dengan Kata lain Umat diluar kasta Brahmana tidak boleh mendengar dan membaca Kitab Weda.

Kemudian dipromosikan pula  konsep ayuwe were tan siddhi palania, (plesetan atau pelintiran dari, Ayu Were Siddhi palania didalam kitab purwagama)  dan “anak mule keto” suatu ungkapan yang selalu terdengar kalau ada anak-anak/umat Hindu bertanya tentang Agama Hindu.  Nawegang antuk linggih, juga suatu ungkapan yang selalu terdengar mendahului percakapan terhadap orang yang baru dikenal. Inilah pemurtadan dan penyesatan yang menjadi-jadi.

Pemurtadan dan penyesatan tersebut didukung oleh pemerintah kolonialis Belanda dan kaum misionaris kristen yang di-kirim  untuk mengalih agamakan orang Bali. Pemerintah Kolonialis  menguatkan konsep kasta dalam praktek pemerintahan kolonial. Dalam Notulen konferensi  administratif  tanggal 15-17 september  1910, collectie Korn no 166;  Pemerintah kolonial Belanda mendukung konsep kasta, sebagai pondasi prinsipil masyarakat Bali. Dalam penerapan-nya, Pemerintah kolonial Belanda memper-luas kasta-kasta dengan mengangkat pegawai pamong praja yang pro kolonial dan memberi nya  gelar bangsawan secara turun temurun.

V.E. Korn  menyatakan bahwa sebelum pemberlakuan pemerintahan kolonialis Belanda di Bali, banyak kaum non kasta yang meduduki jabatan-jabatan dalam otoritas politik seperti : sebagai punggawa, sedahan, perbekel dan sebagainya dibanding sesudah-nya. Pemerintah Belanda begitu yakin pada gagasan bahwa ketiga kasta tertinggi  menyusun fondasi terpenting masyarakat Bali, maka nyaris anggota kasta-kasta itu sajalah yang ditunjuk untuk memegang jabatan tinggi.   Dengan mengutip beberapa contoh, Korn mengatakan bahwa di Buleleng (Bali Utara) sebelum aturan kastaisme diterapkan,  16 dari 26 Punggawanya bukan dari ketiga kasta tinggi. Bahkan banyak kelompok diluar ketiga kasta menduduki jabatan tinggi misalnya sebagai pejabat pajak dan hakim pada masa pra kolonial. (V.E. Korn :  Het Adatrecht van Bali, 1932 dalam Sisi Gelap Pulau Dewata oleh Geoffrey Robinson, 2005)

Penolakan sistem Kasta yang dikait-kaitkan dengan Agama Hindu  bukannya tidak pernah ada saat itu, bahkan saat gagasan pengadopsian Catur Warna menjadi empat kasta dimunculkan, para Cendikiawan Hindu maupun yang perduli akan perkembangan Agama Hindu sudah bereaksi memprotesnya, misalnya dengan terbitnya Surya Kanta, koran berbahasa Melayu di Bali tahun 1920-an. Tetapi gempuran para Indolog pendukung kastaisme ditambah dukungan penguasa pribumi boneka kolonialis dan “Brahmana palsu”, lebih dahsyat dari pada yang menentang kastaisme.  Terlebih lagi kondisi umat Hindu saat itu tidak berdaya oleh kolonialisme, sehingga konsep kaku kasta maupun aturan-aturannya tetap dijalankan, meski terus mendapat penentangan.
Pada tanggal 20 Juni tahun 1916 warga Desa Lodjeh, Karangasem, memprotes keputusan Raad Van Kerta, disusul pada bulan Mei 1917 warga Desa Sukawati Gianyar. Dengan todongan bedil kolonialis Belanda, protes-protes tersebut dapat dipadamkan dengan dibayar nyawa warga Umat Hindu yang tidak berdaya.  Pada kasus Sukawati sebanyak 5 orang umat Hindu mati dibunuh, 11 orang luka-luka dan 26 orang ditangkap dan di jual sebagai budak. (Geoffrey Robinson: Sisi gelap Pulau Dewata, LKiS Yogya.2006)

Kasta dan Perbudakan  tidak sesuai dengan ajaran kitab Weda. Tidak ada satu kata-pun dalam kitab Weda maupun kitab Hukum Hindu yang memuat kata kasta. Kasta dan perbudakan merupakan produk import yang berasal dari budaya perbudakan masyarakat Arab dan Eropa yang tercemin dalam kitab suci Al Qur’an dan Injil   (baca Injil Imamat 25/44-46, keluaran 21/1-6,  timotius 6/1,titus 2/9, Efesus 6/5-6. I Petrus 2/18 maupun Al Qur’an Surat An Nissa ayat 24 dan Surat Al Mu’minuum ayat 1-6).

Bahwa Agama Hindu telah disudutkan dari dua sisi. Dari sisi kebijakan pemerintahan kolonial dan sisi pemikiran. Bahkan sampai Indonesia merdeka praktek-praktek pengang-katan pejabat berdasarkan kastaisme terus berlanjut.

Ir. Soekarno yang lahir dari rahim Ni Nyoman Rai Sarimben, warga pasek Bale Agung Buleleng - leluhurnya satu Ayah dan satu Ibu dengan Ken Dedes-Permaisuri Ken Arok,  salah satu Leluhur Raja-Raja di Jawa, mengganti nama ibundanya menjadi Ida Ayu Nyoman Rai,  guna melanggengkan Kasta-isme yang tidak tahu diri.

Tumbuhnya kesadaran baru dikalangan Umat Hindu

Pada tahun 1980-an, tumbuh kesadaran baru dikalangan Umat Hindu. Dengan sangat Hormat, berkat Jero Mangku Gde Ketut Subandi seorang Pemangku Adat dan ahli babad Bali, membuka belengu tirani kastaisme di Bali. Dengan Lantang Beliau menganjurkan kepada Umat Hindu untuk membaca Weda  dan me-dwijati beberapa umat menjadi sulinggih ( Ida Pandita Mpu ). Jero Mangku Gde Ketut Subandi  juga menunjukkan bukti-bukti kesejarahan leluhur orang Bali, melalui babad-babad, yang selama ini  telah dimanipulasi dan di-kotak-kotak kan diberbagai kasta.

Kini abad tehnologi, Kasta sudah mulai luntur baik di India maupun di Bali. Bukti-bukti kesejarahan sudah ditunjukkan. Dalil-dalil rasisme/kastaisme yang dilekatkan kepada umat Hindu sudah ditolak karena terbukti merupakan propaganda kaum Adharma dan ditampilkan Catur Warna  yang asli, seperti tertulis dalam kitab-kitab Weda (bukan Weda terjemahan Max Muller dkk). Tetapi kaum Adharma tidak pernah kehilang-an energi untuk terus memompakan sema-ngat Kastaisme, yang dilekatkan kepada agama Hindu. 

Rupanya penyesatan Weda oleh kaum Adharma juga tidak pernah kendor.  Ibarat Buruk Muka Cermin di Belah;  Konsep perbudakan di Al Quran dan Injil diterap-kan  pada masyarakat Hindu di India dan Bali yang terjajah. Rakyat India dan Bali saat itu tidak berdaya karena dalam tekanan pen-jajahan sehingga seolah-olah perbudakan / kastaisme bersumber dari Weda.

Bahwa kasta-kasta di Bali  di buat karena kebodohan umat Hindu saat itu , dan diman-faatkan oleh kaum hedonis dan kolonialisme. Kini Umat Hindu sudah pintar-pintar. Bisama Parisadha Hindu Nomor : 03/ Bhisama /Sabha Pandita Parisada Pusat/X/ 2002 tertanggal 29 Oktober 2002 tentang Pengamalan Catur Varna, telah dikeluarkan, tetapi kalau hanya sekedar bhisama, masih banyak pembangkangan, harus ada sangsi hukum positif melalui  perda atau undang-undang Desa pekraman yang baru, untuk menghapus diskriminasi dan kastaisme. Awig-awig dibuat oleh manusia, bisa diperbaharui  dengan awig-awig  yang sesuai dengan tuntutan jaman untuk kepentingan Manusia.  Awig-awig  yang terbukti sesat karena mengacu terjemahan misionaris kristen, harus di musnahkan dan diganti dengan awig-awig   baru yang lebih manusia-wi dan agamis sesuai dengan kitab Weda asli yang Berbahasa sansekerta.

Empat Kasta tidak sama dengan Catur Warna. Catur Warna adalah Empat Tipe Kepribadian Manusia

Empat kasta tidak sama dengan Catur Warna. Kasta merupakan statifikasi sosial yang sangat kaku berdasarkan atas keturunan,  Sedangkan Catur Warna merupakan Tipologi Kepribadian Manusia,yang terbentuk oleh interaksi dinamis triguna karma.  Seperti disebutkan dalam  BG.  IV.13 : Chatur Varnyam maya srishtam  guna  karma   vibhagasah,  artinya:  Catur warna adalah ciptaanku bardasarkan guna karma yang melekat padanya.

Triguna sebagai dasar pembentukan Catur Warna terdiri dari Satwam, Rajas dan Tamas.  BG.XIV.5, menyebutkan : Sattwam Rajas Tamas iti Guna Prakritisamdhawah, artinya : Satwan rajas tamas merupakan sifat bawaan yang terlahir dari prakirti.

Selanjutnya Bagawad Gita XIV.6  menyebut-kan Ciri-ciri Satwam sebagai berikut :  
Nirmalawat = Sifat yang tidak tercela.
Prakasakam  =  Bercahaya
Anamayam = tidak mengenal sedih/ menderita
Sukhasangena  =  selalu memberi rasa senang
Jnanasangena  =  memberikan ilmu pengetahuan
Anagha  =  tidak tercela

Ciri-ciri Rajas (BG.XIV.7) :
Raga = nafsu,
Atmakam = sendiri,
Trsna = nafsu birahi,
Sanga = terikat,
Karmasangena = terikat oleh karma.
Dahinam = Jasad Rohani.

Ciri-ciri Tamas (BG.XIV.8) :
Ajnanam =  tidak berpengetahuan,
Mohanam = kebingungan,
Pramada = tidak peduli/hirau/masa bodo.
Lasya =  malas, 
Nibrabhis = ketiduran/malas ,
Nidra = tidur,

Satwam menghubungkan seseorang kedalam kebahagiaan, Rajas menghubungkan orang dalam perbuatan/ karma, sedangkan Tamas menutup pengetahuan sehingga menjadi kurang waspada. (BG.XIV.9).

Selanjutnya Bagawad Gita XIV.11-13, menyebutkan : apabila badan ini didominasi oleh Satwam  maka Ilmu pengetahuannya menembus didalam badan melalui semua pintu.  Apabila didominasi oleh Rajas maka perilaku yang tampak adalah:
Lobham = Loba, giat dalam usaha,
Prawrttir = Kegiatan kerja duniawi.
Arambah = giat berusaha.
Sprha = kemauan kuat. 

Sedangkan apabila Badan ini didominasi oleh Tamas maka akan tampak  :
Aprakaso = kekurangan cerah/tdk bersinar,
Aprawrtti = malas. 
Pramada = tidak peduli/teledor. 
Moha = bingung,
Nidralasya = suka tidur,
Mohanam atmanam = kesesatan jiwa

Triguna sebagai pembentuk struktur Catur Warna  terdiri dari :


  1. Satwam, merupakan  gudang nilai-nilai moral dan Ilmu pengetahuan, sehingga  mampu melakukan sensor bagi individu dalam menentukan salah atau benar, baik atau jahat, karena  Satwam  memperhati-kan prinsip-prinsip moral dan  merupa-kan  representasi dari norma umum dan kesusilaan.
  2. Rajas, mewakili kenyatan fisik dan sosial seseorang.  berpungsi sebagai penyeim-bang antara Tamas dan Satwam.
  3. Tamas,  merupakan struktur kepribadian primitif, tidak sadar, bekerja tidak rasional dan infulsif,karena  merupakan dorongan kemauan insting.

Catur warna dalam Agama Hindu sangat terbuka. BG.XVIII.41. menyebutkan : Brahmana ksatrya wisam sudranam ca parantapa, karmani prawibhaktani swabhwa prabhawir gunah. Artinya Brahmana Ksatrya Wesya dan Sudra perilakunya dibentuk oleh sifat bawaan guna (triguna).

Pola perilaku yang ditunjukkan secara terus menerus oleh tiap-tiap individu menurut Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro disebut Kepribadian/ personality . Sedangkan menurut Salvador R Maddi, Kepribadian merupakan seperangkat karakteristik yang relatip mantap, kecenderungan dan perangai yang sebagian besar dibentuk oleh faktor keturunan dan faktor faktor sosial, kebudayaan dan lingkungan. Perangkat variabel ini menentukan persamaan dan perbedaan perilaku individu.


Jadi Catur Warna bisa pula diarti-kan sebagai Empat Tipe kepribadian manusia - menurut Ilmu Psikologi.

Sangat mungkin Sigmund Freud membangun teori Psiko-dinamis Kepribadian nya setelah membaca Seloka-seloka Gita ini.  Sigmund Freud: menerangkan perbedaan kepribadian individu karena tiap orang mengalami perangsangan pokok yang berbeda-beda, yang disebabkan oleh pertentangan terus menerus antara dua bagian dari struktur kepribadiannya yang menurut istilah Freud disebut ;  Id, Ego dan super ego.

Kepribadian  (bhs Inggris Personality), tidak sama dengan sifat/watak (Bhs Inggris character ). Kepribadian/personality bersifat menetap,konsisten sepanjang waktu dan dalam berbagai situasi. sedangkan watak/ character sifatnya sewaktu-waktu dapat berubah, misalnya besifat  atau berwatak keras kepala, pemarah dls.

Didalam kitab Weda, Seseorang  disebut Brahmana kalau memperlihatkan ciri-ciri Brahmana seperti disebutkan dalam seloka Bagawad Gita . XVIII.42  sebagai berikut  :
Samo = khusuk/tenang,
Damas = menguasai panca indra/mampu mengendalikan diri.
Tapah = mampu mengendalikan nafsu
Saucam =  suci.
Arjawa = luhur budinya.
Ksanti = damai/tenang,
Jnanam = berpengetahuan.
Wijnanam = bijaksana/berpengalaman.
Astikyam  =  religius.

Seseorang disebut Ksatrya apabila mem-perlihatkan ciri-ciri Ksatrya seperti disebut-kan dalam Bagawad Gita.XVIII.43 yaitu :
Sauryam = heroisme/pemberani.
Tejo  = lincah.
Dhritir = teguh .
Daksyam = pandai menyelesaikan tugas,
Yuddhe = siap bertempur.
Apalayamam =  tidak pengecut.
Dana = dermawan.
Iswarabhawa = bersifat memimpin/ berwibawa.

Seseorang disebut Wesya apabila mem-punyai ciri-ciri Wesya seperti disebutkan dalam BG .XVIII.44 sebagai berikut :
Krsi =  mengusahakan pertanian.
Gauraksya =   memelihara lembu/berternak. 
Wanijyam = berdagang.

Sedangkan seseorang disebut Sudra kalau mempunyai ciri-ciri Sudra seperti disebut dalam BG.XVIII.44 sebagai berikut :,
Paricaryatmakam =  suka melayani

Seorang Brahmana bisa saja terlahir dari warna Sudra/pelayan,  seperti Narada Muni, meskipun orang tuanya seorang Babu (pembantu rumah tangga) berkat proses belajar, akhirnya Narada mampu menjadi Brahmana, bahkan kemudian diangkat menjadi Penghulu di Sorga dengan sebutan Betare Narada. Demikian juga Ksatrya bisa tumbuh dikalangan Sudra contohnya  Radeya, anak kusir kereta, dan Damar Wulan seorang gembala kuda, dan Juga Bambang Ekalawiya, seorang anak Nisada yang tidak mau diangkat menjadi murid oleh Rsi Drona karena dianggap bukan Keturunan Ksatrya, berkat proses belajar yang ulet mereka  mampu menjadi Ksatrya. Ksatrya bisa juga berasal dari anak serang bromocorah, seperti Ken Arok-anak seorang pencuri dan penjudi, berasal dari orang tua yang bukan Ksatrya, bukan pula berasal dari Brahmana, berkat proses belajar Ken Arok akhirnya bisa menjadi Ksatrya /Raja. Seorang Ksatrya bisa juga besar dikalangan peternak sapi/wesya contohnya  Sri Kresna.  Seorang Ksatrya bisa juga lahir dari kalangan yang tidak diketahui identitas/asal-usulnya, misalnya Mahapatih Gadjah Mada.  Seorang Ksatriya bisa juga berasal dari Brahmana misalnya Kresna Kepakisan,  Darmawangsa Teguh, Arya Tatar,  Patih Ulung. Dan juga I Gusti Agung Pasek Gelgel yang diangkat menjadi Caretaker Raja Bali th. 1345-1352 oleh Mahapatih Gadjah Mada adalah keturunan seorang Mpu. Seorang Brahmana bisa juga berasal dari keturunan Raksasa seperti  : Prahlada, anak Raksasa Hiranya Kasipu, bisa menjadi Brahmana. Seorang Brahmana atau Ksatrya bisa pula mempunyai anak menjadi Sudra atau Wesya, tergantung bagaimana orang tua mendidiknya dan lingkungan yang mempengaruhinya.

Yayur Weda XXX.5 menyebutkan : Brahmane brahmanam, Ksatraya rajanam, marudbhyo vaisyam, tapase sudram  artinya: Brahmana untuk pengetahuan, Ksatrya untuk perlindungan, Waisya untuk perdagangan, dan Sudra untuk pekerjaan jasmaniah.

Maksud dari mantra tersebut seorang yang mempunyai tipe kepribadian Brahmana sangat cocok untuk melakukan pekerjaan berkaitan dengan ilmu pengetahuan seperti menjadi seorang : guru/dosen/acharya,   rohaniawan maupun pendeta/sulinggih. 

Sedangkan yang mempunyai tipe kepribadi-an Ksatriya, lebih cocok untuk berprofesi sebagai yang melindungi seperti; Prajurit/ tentara, Penguasa, dan Pejabat pemerintahan.

Sedang  mereka yang bertipe kepribadian Wesya lebih cocok kalau perkerja sebagai Pedagang, Pengusaha, Peternak atau Petani .

Sedangkan  mereka yang mempunyai tipe kepribadian Sudra lebih cocok berprofesi/ bekerja sebagai pegawai gajian yang lebih banyak menggunakan tenaga fisik dari pada kemampuan intelektual-nya,  seperti menjadi buruh atau pegawai/ karyawan yang tidak menentukan kebijakan, karena tipe kepribadi an Sudra lebih suka mengerjakan pekerjaan fisik/suka melayani dan kurang dalam kemampuan Intelektual. (kurang cerdas).

Dengan mengetahui tipe kepribadian seseorang sangat membantu untuk kemajuan dalam memilih profesi. Dengan demikian Agama Hindu sudah  sangat maju dalam bidang Ilmu Psikologi. Tentu Profesi ini tidak menetap, tergantung proses belajar dan lingkungan yang mempengaruhinya.

Tipe kepribadian yang menetap memberikan arahan kepada kita untuk menyadari potensi maupun kemampuan kita masing-masing, sehingga akan membawa kita ke arah kesuksesan. 

Seorang  yang berbakat  sebagai pengusaha akan lebih sukses kalau menjadi pengusaha dari pada menjadi tentara. Atau  seorang yang berbakat jadi Guru akan lebih sukses kalau dia menjadi guru, dibandingkan kalau menjadi pedangang. Atau seseorang yang tidak mempunyai kecerdasan Intelektual (IQ) dan kecerdasan Emosional (IE) lebih baik bekerja sebagai pegawai gajian/atau buruh dari pada memaksakan diri bekerja sebagai Pendeta.Atau bercita-cita menjadi pedagang/ pengusaha.

Lalu bagaimana menentukan tipe kepribadian seseorang ?.

Menurut  R.B.Cattell; ada 16 ciri  dasar  yang melandasi perbedaan perilaku individu. Dalam  riset  yang dihasilkan dari pengem-bangan daftar pertanyaan 16 PF Cattell (sixteen Personalities Factor),  digunakan untuk mengukur sejauhmana orang mempu-nyai ciri-ciri tersebut. Diantara ciri-ciri yang diindentifikasi oleh Cattell adalah: pendiam-ramah tamah,praktis-imajinatif.santai-tegang rendah hati-tegas. Ke 16 ciri Cattell tersebut bersifat 2 kutub, masing masing memiliki 2 ektrim( contoh santai-tegang).

Kitab Bagawad Gita dapat dipakai se-bagai  referensi  Ilmu Psikologi modern untuk mengetahui tipe-tipe kepribadian sese-orang.  Kepribadian dapat diketahui dengan memakai ciri-ciri kepribadian ( Tait of personality ) dengan mengacu pada sloka-sloka BG XIV.6-8  dan BG XIV. 11-13 dan BG. XVIII.42-44 diatas. Dengan mengacu sloka-sloka tersebut serta mengamati pola-perilaku yang ditunjukkan secara terus menerus oleh seseorang, dapatlah kita menyimpulkan, seseorang mempunyai tipe kepribadian Brahmana atau  tipe Kepribadian Ksatrya, tipe Kepribadian Wesya atau tipe Kepribadian  Sudra.

Dengan menggunakan Ilmu Psikologi ini, dapat pula kita menilai, apakah seorang Perwira Tentara layak disebut Ksatrya apa tidak. Seorang Pendeta layak disebut  Brahmana apa tidak.   Bagaimana dengan Perwira yang kabur dari medan perang/ desersi, atau seorang Pendeta yang (maaf) membisniskan kependetaannya atau menjual doa-doanya?.  Ataupun Pengusaha besar        (wesya) yang mendapatkan kekayaan dengan menjual produk yang dilarang oleh Agama maupun Undang-undang. Atau seorang buruh tani  yang berperilaku sopan santun, selalu membuat orang lain senang, berpengetahuan Agama yang luas, berpe-nampilan menarik?. Tetapi karena keadaan  membawanya menjadi Buruh?????


Dengan demikian Catur Warna tidak tepat kalau diterjemahkan sebagai Empat kelompok masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan atau profesinya. Karena pekerja-an seseorang belum tentu sesuai dengan pola perilakunya. Catur Warna lebih cocok diterjemahkan : Empat tipe  kepribadian manusia.


Untuk mengetahui tipe kepribadian sese-orang dapat menggunakan serangkaian tes dengan mengacu sloka-sloka Bagawad gita XIV.11-13 dan BG. XVIII.42-44. Dengan mengetahui tipe  Kepribadiannya, diharap-kan seseorang memilih profesi/pekerjaan yang sesuai dengan tipe kepribadiannya. Sehingga membawa ketenangan dan kesuksesan dalam kehidupannya, karena sesuai dengan “The Right Men and The Right Job”. Manusia bekerja/berprofesi  sesuai dengan minat dan keahliannya.



Kesimpulan :


  1.  Kasta tidak dikenal dalam Kitab suci Weda.
  2. Kasta mulai menyebar di Indonesia semenjak runtuhnya kerajaan Hindu Majapahit 
  3. Kasta di Bali di buat oleh Danghyang Nirarta sekitar abad ke 15 karena terpengaruh pemikiran Rasialis dan Perbudakan Arab dan Eropa  
  4. Kolonialis Belanda memperkuat kastaisme  di Bali
  5. Umat Hindu telah menolak konsep kasta semenjak kasta dikaitkan dengan Catur Warna, bahkan sampai mengor-kan  nyawa dan diasingkan sebagai budak belian.
  6. Catur Warna tidak sama dengan Empat Kasta
  7. Catur Warna adalah Empat Tipologi Kepribadian Manusia berdasarkan interaksi dinamis triguna (satwam, rajas, tamas) dan Karma
  8. Kasta merupakan Stratifikasi sosial yang kaku, merupakan cermin rasialisme dan perbudakan masyarakat Arab dan Eropa yang mendasarkan masyarakatnya pada kitab Al Qur’an dan Injil



Daftar Kepustakaan :


  1. www.wikipedia.org/Max Muller .
  2. www.wikipadia.org/Willian Jones .
  3. www.wikipedia.org/Herbeith Hope Risley .
  4. www.encyclipedia of authentic Hinduism. Org.
  5. Donder,I Ketut; The tru history and the religion of India. Dalam Media Hindu  ed. 92 halaman 44-45. Oktober  2011
  6. Singgih Wikarman, I Nyoman;  Leluhur Orang Bali, dari dunia babad dan sejarah. Paramita Surabaya, 1998
  7. Jero Mangku Ketut Soebandi; Babad Warga Brahmana, Pandita Sakti Wawu Rawuh, asal-usul, peninggalan, dan Keturunan Danghyang Nirartha, Pustaka Manikgeni, Jkt. 1998
  8. Geoffrey Robinson ; Sisi Gelap pulau Dewata, LkiS, Yogyakarta 2005
  9. Nurul Huda; Tokoh Antagonis Darmo Gandul; pura pustaka, Yogyakarta. 2005
  10. Pudja G :Bagawad gita : lembaga peneliti dan pengembangan Weda, Maya Sari Jkt 1985/1986
  11. Kanalayan M. Talreja,Veda & Injil,  Ngakan Made Maadrasuta (Editor). Media, 2005
  12. R.B. Cattel :Personality and Mood by Questionare;  dlm Organissi jilid 1; Gibson dkk,Erlangga, Jkt..1989
  13. Mudiarcana, ING. “Kepribadian Hindu dan Pembangunan Masa Depan”. Dalam , Cendekiawan Hindu Bicara. Putu Setia (ed),Yayasan Dharma Narada hal 70-87. Denpasar 1992



dr. I Nyoman Mudiarcana
Mantan Seretaris Jenderal DPP Pemuda Hindu Indonesia  2000-2005 kini bekerja sebagai Dokter.



SILAHKAN MENGUTIP DAN MENYEBARKAN SEMUA TULISAN DALAM BLOG INI DENGAN MENYEBUTKAN SUMBERNYA