Selasa, 03 April 2012

Kasta dan Catur Warna


Oleh : ING.Mudiarcana




Kata Pengantar

Buku pelajaran sejarah untuk kelas XB terbitan Viva Pakarindo, Klaten Jawa Tengah pada halaman 38 menulis sebagai berikut :

Di India, sistem kasta lahir dan berkembang bersamaan dengan munculnya agama Hindu. Ketika agama dan Kebudayaan Hindu mulai berkembang di Indonesia, sistem kasta tidak berlaku mutlak seperti di India. Masyarakat Hindu Indonesia mengenal sistem kasta dalam ajaran agamanya, tetapi tidak menerapkan dalam kehidupan sehari-hari dan menyesuaikan sistem kasta dengan keadaan masyarakat Indonesia.

Dalam penyusunan materi buku sejarah tersebut, penulis mengaku menggunakan sumber literatur yang sesuai dengan kurikulum KTSP 2006 diantaranya dari :
1.      Wawasan Sejarah 1 Indonesia dan Dunia Kelas X SMA dan MA, dengan pengarang Shodiq Mustafa,     Terbitan Tiga serangkai, Solo, 2007...halaman 96.
2.      Mandiri (Mengasah Kemampuan Diri) Sejarah SMA/MA Kelas X, pengarang Leo Agung dan Dwi Ari Listiyani, Terbitan Erlangga, Jakarta, 2009..halaman 60”



Pendahuluan

Sampai saat ini masih banyak buku buku yang memuat informasi menyesatkan tentang agama Hindu, disengaja atau tidak, buku tersebut terus dicetak berulang-ulang, referensi yang dipakai  juga  yang menyesat- kan agama Hindu,  sehingga saling dukung dan kompak, sementara sumber-sumber  resmi dari penulis-penulis Hindu terpelajar tidak pernah dipakai sebagai bahan referensi

Sumber penyesatan tersebut  dimulai semenjak datangnya penjajah-penjajah Arab dan Eropa di India  abad  ke 7 s/d 19,        bahkan mungkin  lebih awal.  Penyesatan yang paling kasat mata dan fenomenal justru semenjak datangnya Portugis di India abad 15 dan dilanjutkan oleh Kolonialisme Inggris dengan dikeluarkannya undang-undang kolonial pada tahun 1901.

Kalau penyerbu-penyerbu Arab hanya merusak secara fisik simbol-simbol Agama Hindu,  misionaris kristen datang untuk menyesatkan Umat Hindu.  Mereka datang dengan label ilmuwan, Menterjemah-kan  kitab suci  Weda dan meneliti suku-suku India, membuat teori-teori - misalnya teori Invasi Arya dan memperkenalkan istilah Kasta yang dilekatkan pada agama Hindu dengan menggunakan dalil-dalil kitab suci Weda.

Tulisan ini merupakan bantahan terhadap publikasi maupun tulisan yang selalu melecehkan agama Hindu oleh orang-orang Adharma, sekaligus  menunjukkan bukti sejarah kasta yang dilekatkan kepada Agama Hindu dan membandingkan dengan pengertian Catur Warna.  Mudah-mudahan tulisan ini bisa dijadikan bahan referensi dan memberi pencerahan kepada para penulis yang berniat baik, lebih khusus kepada Umat Hindu, supaya tidak terjebak skenario yang sengaja menyesatkan Umat Hindu.
            
Kepada mereka yang dengan sengaja ingin menyesatkan pemahaman tentang Agama Hindu maupun kepada mereka yang merasa diuntungkan dengan adanya kastaisme, tulisan ini bukan bertujuan untuk menyakiti atau melukai perasaan siapapun. Tulisan ini adalah untuk memberikan bukti yang benar tentang sejarah timbulnya kasta yang tidak ada kaitannya dengan agama Hindu, sekaligus untuk memberikan pencerahan kepada pencari kebenaran.



Sejarah kasta di India

Kasta mulai diperkenalkan di India semenjak kedatangan Bangsa-bangsa Arab, Portugis dan Inggris kira-kira sejak abad 7 sampai ke 19. Bangsa Arab, Portugis dan Inggris datang ke India dengan misi penaklukan dan penyebaran Agama. Penaklukan dan Penyebaran Agama Islam  dilakukan oleh Bangsa Arab,  Penaklukan dan penyebaran agama Kristen  dilakukan oleh Bangsa Portugis dan Inggris.

Kedatangan Bangsa Arab, Portugis maupun Inggris di India membawa pula adat kebiasa-annya yaitu  sistem Kasta dan Perbudakan. Kasta dan Perbudakan merupakan suatu yang lazim di-masyarakat Arab dan Eropa saat itu. Karena Kasta dan Perbudakan merupakan cerminan kitab suci Al Quran maupun Injil. Sampai saat ini di negara-negara Arab  perbudakan masih terpelihara dengan baik, meski  di Eropa maupun di Amerika sudah mulai ditinggalkan.

Injil Imamat 25/44-46 menyebutkan : Tetapi budakmu laki-laki atau perempuan yang boleh kamu miliki, adalah dari antara bangsa-bangsa yang di sekelilingmu, dari antara merekalah kamu boleh membeli budak-budak laki-laki dan perempuan. Juga dari anak-anak pendatang tinggal di antaramu, boleh kamu membelinya dan dari antara kaum mereka yang tinggal di antaramu yang dilahirkan di negerimu, orang-orang itu boleh menjadi milikmu. Kamu harus membagikan mereka sebagai warisan kepada anak-anakmu, supaya diwariskan sebagai miliknya. Kamu harus membudakkan mereka untuk selamanya. (baca juga  keluaran 21/1-6,timotius 6/1, titus 2/9,Efesus 6/5-6. I Petrus 2/18)

Al Qur’an surat Al Mu’minuun ayat 1-6 : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, ( yaitu ) orang-orang yang khusyu dalam sembahyangnya, Orang-orang yang menjauhkan diri dari ( Perbuatan dan perkataan ) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kehormatannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

Al Qur’an surat An Nissa ayat 24 :  Dan (diharamkan juga kamu mengawini ) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kau miliki.

Al Qur’an 33:50 ; Hai Nabi, sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu isteri-isteri yang telah kamu berikan mas kawin dan hamba sahaja (=budak) yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu.


Periode kegelapan umat Hindu di India

Periode abad ke 7 s/d 19  Bangsa Timur Tengah dan Eropa berdatangan ke  India. Mereka datang dengan misi penaklukan dan penyebaran Agama. Pada masa ini   (hampir 12 abad) India benar-benar mengalami masa suram. Adat istiadat luhur dan Agama Hindu dihancurkan dengan berbagai cara. Kuil-kuil dihancurkan, Perpustakaan Hindu yang ada di Univesitas Taxila (Taksasila-sekarang masuk wilayah Pakistan), Universitas tertua dan terbesar yang pernah ada di dunia di- bakar habis. Arca-arca emas yang berhias-kan permata dijarah, para Bhramana banyak yang diusir dari Negerinya, bahkan banyak yang dibunuh. Buku-buku baru yang berisi propaganda agama baru disebarkan,  Kitab suci Weda dimanipulasi dan disesatkan,  sebagian Weda dirampas dan dibawa  ke luar India diantaranya ke Inggris.

Sebagai catatan sejarah Raja Sahiya Jayapal-Raja Hindu terakhir di Afganistan terusir dari negerinya sekitar abad ke 9,  Sedangkan Pakistan tempat mengalirnya sungai Saraswati dan tempat lembah Indus - tempat diturunkannya kitab dan peradaban Weda dan Banglades tempat mengalirnya sungai gangga – sungai suci umat Hindu- akhirnya  kini tidak lagi mengakui Kitab suci Weda dan meninggalkan Weda dan telah menganggap leluhurnya sebagai orang kafir dan tidak lagi mengakuinya. Mereka lebih bangga disebut orang Arab dan  menerapkan kebudayaan dari timur tengah, dan meninggalkan kebudayaan lembah sungai Indus.

Sejarah penghancuran agama Hindu di India dilakukan dengan Penyesatan dan kekerasan. Sejarawan Amerika Will Durant menyarikan sebagai berikut: Penaklukan India oleh Islam mungkin merupakan peristiwa paling berdarah dalam sejarah manusia. Kisah yang tragis karena ini merupakan bukti bahwa kebudayaan yang beradab, dengan tatanan hukum dan kemerdekaan, kebudayaan dan perdamaian, dapat dengan sekejap dilenyapkan oleh serangan barbar dari luar dan selanjutnya beranak pianak di tempat itu.

Sedang Francois Gautier sarjana lainnya berkomentar: Pembantaian yang dilakukan Muslim di India tak tertandingkan dalam sejarah, lebih besar daripada Holocaus yang dilakukan Nazi terhadap orang Yahudi.  Diperkirakan selama 8 abad kekuasaan Islam di India telah terjadi pembantaian 80 Juta umat Hindu. Hindu Kush (sekarang masuk wilayah Afganistan ) nama sebuah lereng di Himalaya yang berarti Pembantaaian kaum Hindu ( kush = pembunuhan, bhs. Parsi ) diabadikan namanya  sampai sekarang


Para Indolog mengelabuhi pandangan masyarakat dunia terhadap Agama Hindu
Para misionaris kristen datang ke India mengikuti kolonialisme Portugis dan Inggris. Dengan dukungan pemerintah kolonial, para misionaris memperoleh akses dan dana yang cukup besar untuk mengkonversi rakyat India. Selain mengirim misionaris murni yang bergerak dibidang pelayanan gereja dikirim pula sarjana-sarjana Pseudoilmiah, guna memudahkan jalan bagi penyebaran agama Kristen di India. Diantara sarjana-sarjana pseudioilmiah yang dikirim ke India adalah : Max Muller, William Jones, Herbeith Hope Risley dll.

Federick Maximilian Muller, Sarjana  keturunan Jerman, Anggota Gereja Kristen Oxford tahun 1851,  menerima  bayaran sangat tinggi dari East Indian Company untuk  setiap lembar terjemahkkan Weda. Surat Max Muller tertanggal 25 agustus 1856 dan tanggal 16 Desember 1868 mengungkapkan fakta bahwa Max Muller ingin membawa kekristenan di India dan menyinkirkan agama Hindu dari India. (http://www.encyclopediaofauthentichinduism.org/articles.htm).

Max Muller pernah menulis surat pada istrinya, tanggal 9 Desember 1867 yang dipublikasikan di London dan New York tahun 1902 sebagai berikut : “Penerjemahan Weda selanjutnya akan memberitahu untuk sebagian besar pada nasib India terhadap pertumbuhan jutaan jiwa negeri itu, ini adalah akar dari agama mereka, dan untuk menunjukkan kepada mereka apa akar adalah saya merasa yakin, adalah satu-satunya  Cara mencabut semua yang telah bermunculan dari itu selama 3000 tahun terakhir.


Tulisan-tulisan Max Muller didukung rekan-rekannya antara lain William Jones dan Herbeith Hope Risley.

DR. William Jones seorang pemikir politik radikal, menikahi  putri tertua DR.Jonathan Shipley, Uskup Landraff dan Uskup St.Asaf. Bekerja sebagai Hakim  di Kalkuta, juga merangkap Kepala The Asiatic Society of Bengal, secara diam-diam juga merangkap sebagai misionaris.  Dalam suatu rapat besar atas nama pemerintah Inggris, William Jones marah besar kepada para misionaris karena dianggapnya tidak mampu mengkonversi umat Hindu menjadi umat Kristen. William Jones berkata : Kalian para misionaris ini terlalu bodoh, bagaimanapun upaya kalian baik para zending (misionaris) Protestan maupun Katolik tidak akan mampu mengkonversi orang-orang Hindu, sebab mereka sangat kuat keyakinan mereka terhadap kitab-kitab sucinya. Satu-satunya cara agar orang-orang Hindu mau pindah menjadi umat Kristen adalah mengacaukan isi kitab suci mereka. Posisikan kitab mereka lebih rendah dari kitab Injil dan angkat setinggi-tingginya kitab Injil .(The true history and the religion of India, dalam I Ketut Donder. Media Hindu edisi 92, Oktober 2011 hal. 44-45)

Ada dua rencana rahasia yang disusun secara teliti oleh William Jones sebagai wakil kolonialis Inggris di Kalkuta. Rencana pertama : penyesatan pengertian kitab suci Weda termasuk sejarah India,  kedua : menerapkan teori rasialis (kasta) dengan maksud agar terjadi perpecahan pada masyarakat India. Kedua rencana tersebut dijalankan secara simultan

William Jones lah yang pertama kali meng-usulkan pembagian rasial (kasta) di India yang melibatkan teori Invasi Arya-nya Max Muller. Usulan pembagian kasta di India didukung  oleh  Herbeith Hope Risley, administrator Inggris di India.

                                           
                                                                           
Pada tahun 1901 Herbeith Hope Risley administrator Inggris di India mengesah-kan teori rasialis (kasta) Max Muller dan William Jones menjadi Undang-undang Kolonial yang diberlakukan diseluruh anak benua India.

Thomas Trautman menyebut publikasi-publikasi tulisan Risley yang berjudul Study Etnologi di India (1891) sebagai teori rasial peradaban India. Trautman mengganggap H.H. Risley dan Max Muller sebagai arsitek kasta-isme di India.  http://en.wikipedia.org/wiki/Herbert_Hope_Risley
                               

Hasil upaya dan strategi misionaris Kristen yang berkedok Ilmuwan Indolog tersebut berdampak negatif terhadap  Agama Hindu di seluruh dunia sampai kini. Dari publikasi tulisan-tulisan Indolog tersebutlah muncul  istilah Kasta yang selalu dikait-kaitkan dengan Agama Hindu.



Kasta di India diterapkan secara paksa oleh penguasa kolonial. Sebelumnya Umat Hindu India tidak mengenal Kasta



Dengan dukungan penguasa kolonial dan penguasa pribumi boneka kolonial,  Konsep kasta yang dilekatkan kedalam agama Hindu diterapkan secara paksa kepada Rakyat India dengan aturan-aturan sesuai selera kolonial. Rakyat India dibagi-bagi dalam berbagai Kasta dengan menggunakan dalil-dalil Weda versi terjemahan Max Muller dkk.

Buku-buku Max Muller sampai sekarang laris manis dipakai bahan referensi oleh penulis-penulis pseudoilmiah, terutama buku buku sekolah, karena membawa misi penyesatan. Sebelumnya konsep kaku kasta tidak ditemukan didalam masyarakat Hindu India, baik jaman Mahabarata  maupun jaman sesudahnya. 

Beberapa bukti sejarah bahwa kasta yang kaku tidak parnah ada dalam masyara-kat  Hindu India : Jaman Mahabarata (3500 SM) sampai Dinasti Gupta abad ke 6 Masehi sebagai berikut :


1.      Raja Sentanu menikahi Setyawati, puteri seorang nelayan (Tukang perahu)
2.      Bambang Ekalawiya (Orang Nisada), rakyat biasa bisa menjadi ksatrya.
3.       Radeya, anak kusir kereta menjadi Adipati  (ksatrya).
4.      Kresna,warna kulit hitam, anak gembala sapi. Kresna disebut juga Govinda/ Gopala=anak gembala sapi bisa menjadi Raja (kesatrya).
5.      Narada muni anak pembantu rumah tangga ( Babu ) bisa menjadi Brahmana.
6.      Maharsi  Viyasa ( di Jawa disebut Bagawan Abiyoso), berkulit hitam, hidung lebar, bibir tebal, mata melotot, ibundanya seorang tukang perahu/ nelayan. Dianggap ‘Nabi” oleh umat Hindu, karena beliaulah yang meng-kodifikasi Weda.   Maharsi Viyasa disebut juga Krisna Dwipayana, karena berkulit hitam,  bukan Ras Arya, Bisa menjadi Brahmana.
7.      Kavash Ailush lahir dari rakyat biasa, bisa menjadi Brahmana. Kavish Ailush berperan dalam penulisan mantra Weda drsta untuk Rig Weda mandala 10
8.      Putra Jabala’s (Satyakama) lahir dari ayah yang tidak diketahui, bisa menjadi Brahmana (Rsi) karena rajin belajar mantra-mantra Weda.
9.      Matangga dari kalangan bawah/rakyat jelata, bisa menjadi Rsi (Brahmana) karena kwalitasnya.
10.  Maharsi Walmiki, penulis wiracarita  Ramayana. Nama lahirnya adalah Ratnakara - seorang  pencuri dan perampok Ayahnya bernama Sumali, rakyat biasa, bukan Ksatrya ataupun Brahmana. Setelah merampok Narada Muni, terjadi percakapan antara Ratnakara dengan Narada, Ratnakara akhirnya sadar, dan mulai belajar Agama dan akhirnya menjadi Maharsi dan berganti nama menjadi Walmiki.
11.  Thiruvalluar,anak seorang tukang Jahit/ penenun, berkat keuletannya belajar bisa menjadi Bharmana. Thiruvalluar penulis buku Thirukural di India Selatan.
12.  Dewi Subadra (di Jawa disebut Roro Ireng karena berkulit Hitam), menikah dengan Arjuna yang berkulit Pucat/ putih.
13.  Prahlada anak seorang Raksasa bernama Hiranya Kasipu bisa menjadi Brahmana.


Apa kasta seorang anak kusir kereta?, apa kasta anak gembala sapi?, apa kastanya Anak Nelayan?, apa kastanya tukang tenun benang?, apa kastanya anak Babu/pembantu rumah tangga?, apa kastanya Bromocorah? Apa kastanya seorang Raksasa?.  Apa Warna Kulit  Kresna, bagaimana warna kulit Dewi Subadra dan warna kulit  Maharsi Viyasa “nabi” Umat Hindu?, Mereka berkulit gelap bukan putih seperti terjemahan Catur Warna dengan Ras warna Kulit oleh Max Muller. Orang dengan kulit hitam/gelap bisa menjadi Brahmana ataupun Ksatrya.

Riwayat Anak kusir Kereta dan Anak Gembala Sapi, Anak Pembantu dan Anak Pencuri, tentu bukan suatu rekayasa sejarah.  Ceritera tersebut merupakan tuntunan dan menandakan bahwa seorang Anak Kusir Kereta atau Anak Gembala atau Anak Penjahat maupun anak pembantu, bisa menjadi Ksatrya atau Bisa menjadi Brahmana asalkan mau belajar dengan tekun. 

Max Muller menterjemahkan Catur Warna sama dengan empat warna kulit yaitu Kulit Putih ditujukan kepada Ras Arya untuk kasta Brahmana, Kulit Merah juga untuk Ras Arya untuk kasta Ksatrya, kulit Kuning untuk kasta Wesya dan kulit Hitam/Biru  ditujukan kepada Ras Dravida untuk kasta Sudra. Teori Max Muller dan kawan-kawannya yang rasialis, telah mengabaikan peran Maharsi Wiyasa, Sri Kresna, Dewi Subadra yang berkulit Hitam – orang DravidaBahkan Maharesi Wiyasa dan Sri Kresna adalah tokoh panutan bagi umat Hindu, mereka berkulit hitam.

Fakta-fakta tersebut meruntuhkan teori Rasial/Kasta yang dibangun oleh Max Muller, William Jones, Herbeith Hope Risley dkk.  Menghubungkan kasta-kasta dengan Agama Hindu adalah penyesatan yang disengaja oleh Max Muller dkk. Atas pesanan kolonialis Inggris.

                                                          
 Sejarah Kasta di Bali

Di Indonesia Kasta tidak pernah ditemukan sampai akhir kerajaan Hindu Majapahit  abad 14 akhir. Kasta baru ada di Indonesia setelah kerajaan Hindu  Majapahit runtuh.  

Bukti-bukti sejarah Kasta tidak ada di Indonesia semasa kerajaan Hindu diantaranya sebagai berikut :


1.      Mpu Sendok, seorang Brahmana, anak-anaknya menjadi Ksatrya di  Medang Kemulan
2.      Ken Arok, seorang penyamun  di hutan-hutan Jawa Timur, dari keluarga yang bukan ksatrya ataupun brahmana. Bisa menjadi Raja (ksatrya) di Singosari.
3.      Mahapatih Gadjah Mada, Perdana menteri Majapahit, lahir dari keluarga yang tidak diketahui ( bukan dari keluarga atau keturunan Ksatrya maupun  Brahmana), Kemudian menjadi Ksatrya terkemuka Indonesia sepanjang sejarah Indonesia
4.      Damar Wulan, Seorang pengangon kuda ( tukang arit rumput ), kemudian bisa menjadi Raja (Ksatrya) di Majapahit dan berganti nama menjadi Brawijaya.
5.      Kebo Iwa, tukang gali tanah dan tukang membuat sumur, berkat keperkasaannya bisa menjadi Patih (Ksatrya) di Bali pada masa Raja Ratna Bumi Banten.
6.      Ketut Kresna Kepakisan, anak seorang Brahmana dari Jawa Timur, menjadi Adipati (Ksatrya) di Samprangan Bali dengan gelar Sri Kresna Kepakisan.
7.      Patih Ulung,  ayahnya seorang Mpu/  Brahmana, warga pasek sanak pitu,  bisa menjadi Patih/Ksatrya.
8.      Arya Tatar  -  pejabat kerajaan Singosari, keponakan Kendedes. Ayah nya seorang Mpu/Brahmana - warga Pasek Sanak Pitu, bisa menjadi Ksatrya membantu bibi dan pamannya.: Ken Arok-Ken Dedes.  Arya Tatar di Bali  menurunkan Pasek Pidpid dan Pasek Bale Agung Buleleng yang menurunkan Ir. Soekarno
9.      I Gusti Agung Pasek Gelgel, katurunan seorang Mpu/Brahmana, bisa menjadi Ksatrya yaitu menjadi Raja Bali (1345-1352 M), sebelum Kresna Kepakisan diangkat  sebagai raja Bali.


Apa kasta seorang Perampok/ Bromocorah?, Apa Kasta seorang Pengangon Kuda?, Apa Kasta seorang tukang gali Sumur?.  Ken Arok, Gadjah Mada,  Damar Wulan maupun Kebo Iwa jelas bukan berasal dari kasta Brahmana, bukan Ksatrya, bukan pula Wesya. Tetapi bisa menjadi Ksatrya berkat proses belajar dan keterampilan yang dimilikinya. Bukan karena keturunan.



Kasta mulai ada di Indonesia setelah runtuhnya Majapahit dan terpengaruhnya pemikiran para “Brahmana” oleh pemikiran kaum Indologis.


Di Indonesia Kastaisme mulai menyebar setelah Runtuhnya kerajaan Hindu Majapahit tahun 1478 M, hampir berdekatan waktunya dengan jatuhnya kerajaan Goa di India oleh Portugis tahun 1511, serta  Era penyebaran konsep-konsep agama Kristen (Kristenisasi) ke-seluruh dunia yang ditandai dengan Kolonialisasi dan perbudakan. 

Pada akhir masa Majapahit terutama awal abad ke 15 ,  kastaisme  mulai menyebar. Banyak Ksatrya, Cendekiawan maupun Brahmana Hindu mulai terpengaruh propaganda misionaris Kristen dan kaum Adharma lainnya. Mereka melupakan swa-dharmanya sebagai ksatrya dan brahmana tergoda oleh Harta Kuasa dan Wanita.  

Raja Majapahit Kertabumi ( 1456-1478 ) yang sudah tua renta tergoda wanita hadiah para Wali. Wanita yang tidak jelas asal-usulnya selalu membujuk Kertabumi untuk meninggalkan agama Hindu agama leluhur Majapahit dan ikut agama Istrinya.

Di Jawa Barat, Raja Pajajaran Prabu Siliwangi terbujuk rayuan Nyai Subang Larang,  yang kemudian bersama  keturunan-nya menentangnya, sehingga Sang Prabu harus melarikan diri dari Istananya dan hidup terlunta-lunta menyamar sebagai  Anak Angon (gembala)  hidup di hutan.

Para Brahmana dan cendekiawan tersesatkan oleh pemikiran-pemikiran baru dari Eropa dan Arab, mereka mengadopsi konsep-konsep kasta dan perbudakan tanpa dinilai secara kritis. Parahnya lagi, para Brahmana lebih banyak berkumpul disekitar keraton, guna melegitimasi kebijakan raja  menjadi Bhagawanta Kerajaan.  Akhirnya rakyat tertinggal dibidang tattwa keagamaan nya, sehingga dengan mudah di Konversi dan jadi jajahan asing. Majapahit-pun runtuh tahun 1478, diikuti oleh Pajajaran, dan pusat pemerintahan dilanjutkan oleh Demak Bintoro.

Pada masa pemerintahan Demak dan Mataram Islam,  Kasta makin tumbuh subur di tanah Jawa. Gelar tokoh agama di Jawa/ Indonesia  seperti ; KH,Habib,Abu, Syekh dll. Dan Bangsawan Jawa makin beraneka ragam,  seperti :  R. RA. GPA. GPAA. KRT. GKR, GPH. GB, GPB dll. Masyarakat Jawa terkotak-kotak menjadi kelompok Kiyai, kelompok Habib, kelompok  Saudagar, Priyayi dan Wong Cilik.

Sebelumnya Gelar Bangsawan di Jawa/  Indonesia cukup dipanggil Raden, sedang raja dipanggil Sri, seperti Raden Wijaya, Sri Wijaya, Sri Dharmawangsa dan tokoh Agama dipanggil Mpu, seperti Mpu Sendok, Mpu Sedah, Mpu Beradah, Mpu Tantular dll.



Keberadaan Kasta dan perbudakan di Bali

Kehancuran Majapahit tahun 1478, bukannya menjadi pelajaran bagi umat Hindu di Bali. Seorang pedarmayatra (“pegungsi”) dari Majapahit diangkat menjadi Bagawanta kerajaan di Gelgel. Beliau adalah Danghyang Nirarta.

Tahun 1489, sebelas tahun setelah Kerajaan Majapahit Runtuh,  Daghyang Nirarta datang ke Bali dengan membawa ajaran-ajaran yang sudah dipengaruhi oleh peta politik global saat itu (peta politik global abad 14-16 M ), yaitu konsep kasta-kasta dan perbudakan. Danghyang Nirartha juga melarang anak-anaknya menyembah patung-patung. (lihat : Bisama Danghyang Nirartha kepada keturunannya), ini jelas mengadopsi Al Quran yang menganggap patung sebagai Berhala.

Di Lombok Danghyang Nirarta mengajarkan Islam wetu telu, ajarannya dapat dilihat dalam geguritan Islam wetu telu, beliau bergelar Haji Duta Semeru, konon entah benar apa tidak beliau sudah pernah naik haji ke Mekkah dan namanya menjadi Haji Gureh (Singgih Wikarman,1998). Ada ceritra kesamaan kemampuan antara Danghyang Nirarta dengan Syekh Siti Jenar - tokoh sufi (Islam) yang dianggap Murtad oleh para Wali,  yaitu sama-sama mampu menghidupkan cacing jadi manusia.

Menurut Babad Brahmana: sewaktu Danghyang Nirarta tiba di Bali, terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan. Putri beliau yang bernama Ida Ayu Swabawa dicemari dan diperlakukan tidak senonoh oleh penduduk. Mendengar kisah sedih putrinya tersebut, Danghyang Nirartha berkenaan memberikan ajaran ilmu Rahasya keparamartaan yang mampu melenyapkan segala dosa. Setelah menerima ajaran itu Ida Ayu Swabawa lenyap menggaib dan berhasil mencapai alam Dewa, dan di stanakan di Pura Pulaki sebagai Dewi Melanting   Adapun orang-orang yang menodai Ida Ayu Swabawa dikutuk menjadi wong Gamang di desa Pegametan”.(Soebandi,1998)

Kisah Ini merupakan upaya pemurtadan terhadap keyakinan agama Hindu, kerena umat Hindu digiring untuk mengganti peran Dewi Sri Laksmi - Sakti Dewa Wisnu/Betare Sedana, sebagai Dewa-dewi pemberi kemakmuran dan kesejahteraan,  dengan Ida Ayu Subawa seorang anak manusia yang dinodai oleh penduduk yang tiada lain adalah anaknya sendiri dan kemudin diperkenalkan kepada umat sebagai Dewi Melanting. .

Selanjutnya dalam Babad tsb juga disebutkan “Ketika Danghyang Nirarta memberikan ajaran Ilmu rahasya kepada putrinya itu, ternyata didengar oleh insan berwujud seekor cacing kalung, cacing kalung tersebut, tiba-tiba supa (musna) dosa papanya dan seketika menjelma menjadi Manusia perempuan dan  diberi nama Nyi Berit”.  
Kisah ini mencerminkan sikap “ rasis (kastaisme)” dan sikap  “megalomania-nya”  si penulis babad Brahmana,  karena  menggatakan  Nyi Berit sebagai supa-an (jelmaan) Cacing kalung.  Karena sejatinya Nyi Berit  adalah penduduk Bali yang lebih dahulu menetap di Bali (Bali Age) yang kebetulan hidupnya saat itu kurang beruntung.  Sikap rasis dan superior  ini ternyata berbuah karma, karena dikemudian hari Nyi Berit ini melahirkan anak dari Danghyang Nirartha. 
Dalam babad Brahmana juga ditemukan kalimat :   "rambut beliau Danghyang Nirartha di-Stanakan di Pura Kapurancak yang disebut SINIWI DI KAPURANCAK, sehingga Pura tersebut disebut PURA RAMBUT SIWI". 
Penyebutan rabut Danghyang Nirartha yang Siniwi di Kapurancak supaya dipuja oleh umat Hindu Bali seluruhnya,  mencerminkan kepribadian si penulis Babad yang mencoba mengeser keyakinan Umat Hindu Bali yang semula memuja Betare Rambut Sedana sebagai manifestasi Dewa Wisnu bersama Saktinya Dewi Sri-laksmi,  diganti oleh beliau Danghyang Niratha bersama anaknya Ida Ayu Swabawa. 

Betare Rambut Sedana merupakan manifestasi Dewa Wisnu didampingi oleh saktinya dewi Sri Laksmi, bertugas memberikan kesejahteraan, kemakmuran dan harta benda kepada para pemuja yang setia memuja beliau setiap hari. 


Umat Hindu yang pernah membaca lontar Wawacan Sulanjana atau mendengar ceritra Rakyat Jawa mengetahui bahwa Dewi kesuburan dan kesejahteraan (Dewinya Padi dan Tumbuh-tubuhan bermanfaat) adalah Dewi Sri atau disebut juga Sanghyang Asri.  Dewi Sri atau Sanghyang Asri distanakan di Sawah-sawah dan lumbung padi. Jadi yang disebut  Dewi Melanting bukanlah Ida Ayu Swabawa melainkan  Dewi Sri Laksmi- sakti dari Betare Rambut Sedana (Wisnu).  Sedangkan Betare Rambut Sedana  adalah nama lain dari Dewa Wisnu yang bertugas memberikan kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan kepada para Bhakta-nya. 

Karena dianggap "Sakti" dan  "mumpuni dibidang agama"  pada zamannya maka Danghyang Nirarha diangkat menjadi Bagawanta kerajaan di Gelgel. Pada saat itu yang menjadi penguasa di Gelgel adalah Dalem Waturenggong (1460-1550 M).   
Tidak berapa lama setelah  menjabat sebagai Bhagawanta Kerajaan Gelgel,   Danghyang Nirarta sang puruhita kerajaan gelgel menerapkan teori RASIS (Kasta) yang sejak semula telah menjadi Ideologinya,  dan  merestukturisasi masyarakat Bali menjadi berbagai macam kasta.  
Dengan mengadopsi  DALIL-DALIL WEDA  versi kaum misionaris Kristen-Portugis  di India maka  Catur Warna diadopsi  menjadi Catur Kasta ( dari bahasa Portugis : Caste) dan ditetapkan menjadi Awig-Awig (peraturan kerajaan).
Untuk mendukung gagasan-nya membentuk kasta-kasta di Bali,   Danghyang Nirarta menuliskannya dalam lontar “ Widhi sastra sakeng niti Danghyang Nirarta”  (Singgih Wikarma 1998 : Leluhur orang Bali dari dunia babad dan sejarah.  Penerbit Paramita, Surabaya, halaman 63).





Semenjak itu munculah Kasta yang dilekatkan kepada agama Hindu di Bali. Kasta Brahmana yang isinya terdiri dari anak-anak keturunan Danghyang Nirarta, termasuk juga keturunan  yang sebelumnya dikatakann sebagai “supa-an-cacing kalung(Nyi Berit), dan anak yang dikatakannya PENYEROAN (asisten rumah tangganya Bendesa Mas) yang  bernama Ni Patapan.  Kasta Ksatrya diberikan kepada keturunan dalem Gelgel, di kecualikan  kepada keturunan Dalem Taruk yang ditetapkan sebagai Sudra.  Kasta Wesya ditetapkan kepada Keturunan  Majapahit yang menyertai Dalem Samprangan, Sedangkan Kasta sudra ditetapkan kepada penduduk Bali Age.

Sistem Baru ini melecehkan dan menyimpangkan  Sastra-Sastra, dan lontar-lontar Agama Hindu, terutama YayurWeda XXXI.11 berikut :

Brahmano-Asya mukham asid.
Bahu rajanyah krtah. 
Uru tadasya yad Vaisyah.
Padbhyam Sudro ajayata.

artinya :

Brahmana adalah Mukanya.
Raja adalah Bahunya.
Perutnya adalah Wesya
Kaki nya adalah Sudra 

Maksudnya adalah : baik para Brahmana, para Ksatrya, para Wesdya dan para Sudra supaya  saling bekerjasama tanpa ada yang mempunyai derajat lebih tinggi dan penting. karena semuanya penting dan harus sehat. 

Dalam mantra Yayurweda XXXI.11  tidak ada menyebut nama kelompok warga (Marga/Soroh/Wangsa)  atau nama seseorang.

Lontar Widdhisastra sakeng Niti Danghyang Nirarta, jelas -jelas berisi PENISTAAN terhadap suatu Kaum/Warga/Soroh/Wangsa dan tidak mempunyai legitiasi, apalagi mengartikan CATUR WARNA menjadi EMPAT KASTA. Karena sistem baru ini juga mengabaikan lontar-lontar Weda dan Prasasti-prasasti yang sudah ada di Bali sebelumnya,  seperti prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja Udayana mapun raja Anak Wungsu.  

Prasasti Bila tahun 995 C atau tahun 1073 M sbb : 





Pada Prasasti Bila, yang dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu  tahun 995 C atau 1073 M), M) menyebutkan peran para Brahmana.  Itu berarti yang disebut Brahmana pada zaman itu pasti bukan Anak cucu Danghyang Nirartha, karena Danghyang Nirartha baru tiba di Bali th. 1489 M  atau hampir 500 th setelah prasasti Bila diterbitkan. Yang disebut para Brahmana pada prasasti Bila th. 995 C (1073 M)  pastilah Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana,  serta para Bhamana keturunan Rsi Markandeya dan Mpu Kepandean yang sudah Dwijati (Mpugdala) yang membantu raja Anak Wungsu. 
Seperti dicatat dalam sejarah, bahwa pada saat Prabu Udayana menjadi raja di Bali (989-1011M), terdapat 9 sampradaya (sekte agama Hindu) di Bali. Untuk membangun agama Hindu di Bali, Prabu Udayana meminta bantuan 5  Brahmana bersaudara yang berasal dari JAMBUDWIPA/INDIA( I Gusti Bagus Sugriwa, 1956: Babad Pasek.  halaman 15) yang menetap di Jawa Timur, diantaranaya : Mpu Rajakerta  yang kemudian menjadi Senopati Kuturan sekaligus Bhagawanta Kerajaan,  didampingi oleh saudara-saudaranya : Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Gnijaya. Sedangkan adiknya yang paling kecil Mpu Baradah tetap tinggal di Jawa diminta oleh Raja Airlangga (Anak Prabu Udayana - kakak dari Anak Wungsu) menjadi Bhagawanta kerajaan di Kahuripan- Jawa Timur. 
  
Setelah kasta-kasta ini disahkan di Bali,  diberlakukan  pula perbudakanRaja-Raja Bali dengan dukungan Kelompok “Brahmana hasil Strukturisasi “,  membuat awig-awig untuk mengesahkan perbudakan. Menghukum rakyat Bali yang beragama Hindu (awig-awig tersebut tidak berlaku bagi umat selain umat Hindu) yang melanggar awig-awig sebagai budak dan boleh di jual oleh Raja.  Raja-raja Bali memperoleh harta untuk membangun Puri-purinya yang megah dengan mengekspor para budak ber-agama  Hindu kepada Kompeni di Batavia. 

Sistem Kasta dan Perbudakan ini jelas mengadopsi konsep-konsep Injil dan per-budakan dalam  masyarakat Arab dan Eropa tanpa reserve. Karena dalam Agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta dan Perbudakan.

Sistem Perbudakan yang dijadikan komoditas Ekspor oleh Raja-Raja Bali, menyumbang hampir 60 % budak-budak kepada VOC di Batavia. Budak-budak beragama Hindu dari Bali  di jual ke Batavia, Hindia Barat, Afrika Selatan, dan pulau-pulau di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sebagai contoh: klan Sudira di Depok yang disebut “Belanda Depok”, adalah orang  yang berasal dari Gianyar dan tidak ada sedikitpun identitas ke Hinduan atau Bali nya yang tersisa, hanya saja  kalau kita tanya mereka mengaku kakeknya berasal dari Gianyar-Bali, Demikian juga Untung Surapati, budak belian berasal dari Bali berkat perjuangannya yang gigih dan kecerdasannya bisa menjadi Tumenggung di Pasuruan - Jawa Timur tetapi identitas ke Hinduan-nya sedikitpun tidak tersisa. 


Para Durjana menguasai Umat Hindu

Dari manakah Raja-Raja Bali saat itu mendapat ilmu tentang perbudakan dan kasta-isme?, Apa sumbangan para “Brahmana dan para Raja Bali saat itu ( abad 14-19 ) terhadap  umat dan Agama Hindu?, Kenapa para Durjana serakah bisa menguasai umat Hindu di Bali saat itu ?.

Inilah tanda-tanda kehancuran Agama Hindu di Indonesia. Karena para “Brahmananya”  tergoda oleh  prestise pribadi, harta dan  kuasa. Para Brahmana dan Raja tidak cerdas mengamati peta politik global, tidak peduli terhadap ajaran kitab suci Weda. Para Raja bermahkotakan Emas, dan Para Brahmana juga berkalung dan ber Ketu (mahkota) bertatahkan permata dan emas, sementara rakyat/umat-nya telanjang tanpa busana, fenomena ini sangat menarik minat wisatawan Eropa datang ke Bali, untuk melihat kemolekan gadis-gadis Umat Hindu Bali yang ber-telanjang dada mondar-mandir dijalan. Dan ini membanggakan para raja-raja Bali untuk kembali mendatangkan dolar.

Sebelum kedatangan Danghyang Nirarta, tidak ada kasta-kasta maupun Budak dari Bali.  Umat Hindu di Bali tidak ada yang bernama Anak Agung, Ida Bagus, Cokorda, maupun I Dewa. Silahkan lacak nama-nama orang Bali pada Babad-babad, kapan nama-nama itu mulai muncul dalam khasanah nama-nama orang Bali. Tidak ada yang namanya AA.IB. IC. ID,IGN IGst, maupun I Wayan yang mengaku Brahmana, Ksatrya, maupun Sudra.  Martabat orang Bali ditentu-kan oleh perilakunya. Warna nya ditentukan oleh pekerjaannya. Bahkan Sri Kresna Kepakisan raja Pertama Gelgel  sebelumnya bernama Ketut Kresna Kepakisan, karena merupakan anak ke 4 dari Danghyang Kepakisan seorang Brahmana dari Jawa Timur. Kresna Kepakisan tidak bernama Ida Bagus Kresna Kepakisan, meskipun beliau anak seorang Brahmana, tidak juga  memakai nama Anak Agung atau I Dewa Kresna Kepakisan, meski beliau menjadi raja diraja Bali. Namanya cukup menjadi Sri Kresna Kepakisan.

Begitu pula raja-raja Bali maupun Jawa sebelumnya seperti; Sri Ugrasena, Sri Kesari Warmadewa, Sri Udayana, Sri Wijaya, Sri Dharmawangsa dll, cukup memakai gelar Sri, sedangkan panglima perang pejabat kerajaan lebih senang memakai nama-nama binatang, seperti;  Kebo Iwo, Kebo Parud, Gadjah Mada, Gadjah Maruga, Patih Wulung, dll.  sebagai tanda bahwa Agama Hindu  dan adat Bali/Jawa saat itu  sangat egaliter.  Salah seorang anak Sri Kresna Kepakisan, yaitu Dalem Taruk anak anaknya bernama I Gede Pulasari, I Gede Bandem, I Gede Balangan, Merupakan generasi ke 3 Dinasti Kepakisan, tidak memakai gelar bentukan Danghyang Nirarta dan Dalem Waturenggong.



Kasta di Bali pada masa kolonial


Th. 1882, kolonialis Belanda mendirikan Raad Van Kerta, mahkamah adat Bali, dengan alasan politik etis.  Hakim-hakim pada Raad Van Kerta diisi oleh para Pedande (bukan Sri Empu, Bujangga Wisnawa maupun Rsi), meskipun tidak jarang mereka tidak mengerti masalah hukum, dan tidak mengerti  teks-teks hukum keagamaan seperti Agama, adigama, purwa agama dan kutara agama yang ditulis dalam bahasa jawa kuno.   

Belanda membantu pegangan para hakim Raad Van Kerta dengan menterjemahkan teks-teks tersebut kedalam Bahasa Melayu dan bahasa Bali untuk digunakan sebagai acuan hukum oleh anggota Raad Van Kerta.


Terjemahan teks-teks dari bahasa Jawa kuno kedalam bahasa Melayu dan bahasa Bali disesuaikan dengan selera dan kepentingan kolonialisme dan misionarisme. Hal ini sama dan sebangun dengan upaya Max Muller beserta kawan-kawannya  dalam menter-jemahkan kitab Weda yang disesatkan untuk diterapkan pada masyarakat Hindu di India. Geoffrey Robinson mengomentari hal ini sebagai rekayasa tradisi Bali yang paling mencengangkan oleh Kolonial Belanda.
(Geoffrey Robinson; Sisi Gelap Pulau Dewata, 2005 hal. 51).

Kitab Agama, adigama, purwa agama dan kutara agama, sewaktu diterapkan oleh Raja-Raja Hindu di Jawa, tidak pernah menerap-kan kasta-kasta, karena  tidak ada satu kata pun dalam kitab Hukum Hindu maupun kitab Weda yang berisi kata kasta. 

Kasta  tidak dikenal dan merupakan kata asing bagi umat Hindu, apalagi menjadikan para pesakitannya sebagai Budak.  Kasta dan Budak adalah akal-akalan kolonialis semata, sebagai cerminan tradisi kitab Injil dan Al Quran yang diberlakukan di Arab dan Eropa.

Pada tahun 1910 kolonialis Belanda meng ikuti jejak rekan Eropa-nya di India yaitu kolonialis Inggris,  mendukung penetapan konsep kasta sebagai fondasi prinsipil masyarakat Bali. Dengan demikian koloni-alis Belanda,  melegalkan dan meneguhkan hierarki kasta beserta seperangkat aturan menyangkut hubungan antar kasta dan hak-hak istimewa kasta, yang sebelum-nya tidak pernah ada dalam praktek di Bali.  Dalam kata-kata V.E. Korn, orang Belanda, pakar Bali dan kontrolir Badung 1925  :     ” Bukan saja triwangsa diberi tempat yang terlalu penting, tetapi juga dilindungi melalui sederet pasal-pasal yang sangat jauh melampaui para raja dan teks-teks hukum tempo dulu”. Pendeknya, apa yang diartikan sebagai usaha Belanda untuk bergiat dalam “tradisi” Bali sebagai politik etis, sebetulnya adalah penciptaan tatanan hierarki baru yang pasti, di mana kekuasaan golongan kasta tinggi lebih besar daripada sebelumnya, dan terlebih lagi di sahkan oleh struktur legal, ideologis dan koesif negara kolonial. (Geoffrey Robinson,Sisi Gelap Pulau Dewata,2005 halaman 51)



Pemurtadan Umat Hindu makin menjadi-jadi dengan tujuan Konversi


Umat Hindu telah dibuat tersesat oleh sarjana pseudoilmiah dan misionarisme, juga oleh umat Hindu sendiri yang tercemar pemikiran misionaris dan tidak kukuh mempertahankan Dharma.  Penyesatan tersebut bahkan sampai ketingkat pemurtadan, menentang perintah kitab suci Yayur Weda XXVI.2  : Yathemam vacam kalyanim avadani janebhyah, Brahma rajanyabhyam sudraya caryaya ca svaya caranaya ca artinya :  hendaknya wartakan sabda suci ini kepada seluruh umat manusia, baik kepada para Brahmana, para raja-raja maupun kepada masyarakat pedagang, petani dan nelayan serta para buruh, kepada orang-orangku maupun orang asing sekalipun.

Juga pemurtadan Sloka BG. XVIII.70 : Adhyesyate ca ya imam,  dharmyam samwa-dam awayoh,jnanayajnena tena‘ham, istah syam iti me matih/ Mereka yang membaca percakapan-Ku ini, oleh  mereka Aku telah dipuja dengan  yadnya  Ilmu Pengetahuan. Demikian  telah Aku nyatakan.

Sraddhawan  anasuyas ca, srinuyad api yo narah,  so’pi  muktah subham  lokan, prapnuyat punyakarmanam (BG.XVIII.71) Artinya :  Orang yang mempunyai keyakin-an dan tidak mencela Orang seperti itu, walaupun hanya sekedar mendengar  orang berbicara kitab suci. Ia juga akan dibebaskan, mencapai dunia kebahagiaan sebagai manusia yang berbuat kebajikan.

Rakyat Bali yang bukan “berkasta Brahmana “ dilarang belajar Weda. Hanya mereka yang menyebut dirinya kasta “Brahmana” saja yang boleh belajar agama. Agama dimono-poli oleh Satu kelompok, sedang rakyat tidak boleh belajar Agama Hindu, kalau belajar Agama Hindu nanti bisa Buduh (=gila)  katanya. Bahkan Konon buku-buku Resi Gotama terbit berisikan perintah untuk mengecor mulut orang-orang diluar Kasta Brahmana, apabila berani membaca Weda, memerintahkan untuk mengecor dengan timah panas telinga orang-orang diluar kasta Brahmana kalau berani mendengar mantra/seloka Weda.  Dengan Kata lain Umat diluar kasta Brahmana tidak boleh mendengar dan membaca Kitab Weda.

Kemudian dipromosikan pula  konsep ayuwe were tan siddhi palania, (plesetan atau pelintiran dari, Ayu Were Siddhi palania didalam kitab purwagama)  dan “anak mule keto” suatu ungkapan yang selalu terdengar kalau ada anak-anak/umat Hindu bertanya tentang Agama Hindu.  Nawegang antuk linggih, juga suatu ungkapan yang selalu terdengar mendahului percakapan terhadap orang yang baru dikenal. Inilah pemurtadan dan penyesatan yang menjadi-jadi.

Pemurtadan dan penyesatan tersebut didukung oleh pemerintah kolonialis Belanda dan kaum misionaris kristen yang di-kirim  untuk mengalih agamakan orang Bali. Pemerintah Kolonialis  menguatkan konsep kasta dalam praktek pemerintahan kolonial. Dalam Notulen konferensi  administratif  tanggal 15-17 september  1910, collectie Korn no 166;  Pemerintah kolonial Belanda mendukung konsep kasta, sebagai pondasi prinsipil masyarakat Bali. Dalam penerapan-nya, Pemerintah kolonial Belanda memper-luas kasta-kasta dengan mengangkat pegawai pamong praja yang pro kolonial dan memberi nya  gelar bangsawan secara turun temurun.

V.E. Korn  menyatakan bahwa sebelum pemberlakuan pemerintahan kolonialis Belanda di Bali, banyak kaum non kasta yang meduduki jabatan-jabatan dalam otoritas politik seperti : sebagai punggawa, sedahan, perbekel dan sebagainya dibanding sesudah-nya. Pemerintah Belanda begitu yakin pada gagasan bahwa ketiga kasta tertinggi  menyusun fondasi terpenting masyarakat Bali, maka nyaris anggota kasta-kasta itu sajalah yang ditunjuk untuk memegang jabatan tinggi.   Dengan mengutip beberapa contoh, Korn mengatakan bahwa di Buleleng (Bali Utara) sebelum aturan kastaisme diterapkan,  16 dari 26 Punggawanya bukan dari ketiga kasta tinggi. Bahkan banyak kelompok diluar ketiga kasta menduduki jabatan tinggi misalnya sebagai pejabat pajak dan hakim pada masa pra kolonial. (V.E. Korn :  Het Adatrecht van Bali, 1932 dalam Sisi Gelap Pulau Dewata oleh Geoffrey Robinson, 2005)

Penolakan sistem Kasta yang dikait-kaitkan dengan Agama Hindu  bukannya tidak pernah ada saat itu, bahkan saat gagasan pengadopsian Catur Warna menjadi empat kasta dimunculkan, para Cendikiawan Hindu maupun yang perduli akan perkembangan Agama Hindu sudah bereaksi memprotesnya, misalnya dengan terbitnya Surya Kanta, koran berbahasa Melayu di Bali tahun 1920-an. Tetapi gempuran para Indolog pendukung kastaisme ditambah dukungan penguasa pribumi boneka kolonialis dan “Brahmana palsu”, lebih dahsyat dari pada yang menentang kastaisme.  Terlebih lagi kondisi umat Hindu saat itu tidak berdaya oleh kolonialisme, sehingga konsep kaku kasta maupun aturan-aturannya tetap dijalankan, meski terus mendapat penentangan.
Pada tanggal 20 Juni tahun 1916 warga Desa Lodjeh, Karangasem, memprotes keputusan Raad Van Kerta, disusul pada bulan Mei 1917 warga Desa Sukawati Gianyar. Dengan todongan bedil kolonialis Belanda, protes-protes tersebut dapat dipadamkan dengan dibayar nyawa warga Umat Hindu yang tidak berdaya.  Pada kasus Sukawati sebanyak 5 orang umat Hindu mati dibunuh, 11 orang luka-luka dan 26 orang ditangkap dan di jual sebagai budak. (Geoffrey Robinson: Sisi gelap Pulau Dewata, LKiS Yogya.2006)

Kasta dan Perbudakan  tidak sesuai dengan ajaran kitab Weda. Tidak ada satu kata-pun dalam kitab Weda maupun kitab Hukum Hindu yang memuat kata kasta. Kasta dan perbudakan merupakan produk import yang berasal dari budaya perbudakan masyarakat Arab dan Eropa yang tercemin dalam kitab suci Al Qur’an dan Injil   (baca Injil Imamat 25/44-46, keluaran 21/1-6,  timotius 6/1,titus 2/9, Efesus 6/5-6. I Petrus 2/18 maupun Al Qur’an Surat An Nissa ayat 24 dan Surat Al Mu’minuum ayat 1-6).

Bahwa Agama Hindu telah disudutkan dari dua sisi. Dari sisi kebijakan pemerintahan kolonial dan sisi pemikiran. Bahkan sampai Indonesia merdeka praktek-praktek pengang-katan pejabat berdasarkan kastaisme terus berlanjut.

Ir. Soekarno yang lahir dari rahim Ni Nyoman Rai Sarimben, warga pasek Bale Agung Buleleng - leluhurnya satu Ayah dan satu Ibu dengan Ken Dedes-Permaisuri Ken   Arok,  salah satu Leluhur Raja-Raja di Jawa, mengganti nama ibundanya menjadi Ida Ayu Nyoman Rai,  guna melanggengkan Kasta-isme yang tidak tahu diri.



Tumbuhnya kesadaran baru dikalangan Umat Hindu

Pada tahun 1980-an, tumbuh kesadaran baru dikalangan Umat Hindu. Dengan sangat Hormat, berkat Jero Mangku Gde Ketut Subandi seorang Pemangku Adat dan ahli babad Bali, membuka belengu tirani kastaisme di Bali. Dengan Lantang Beliau menganjurkan kepada Umat Hindu untuk membaca Weda  dan me-dwijati beberapa umat menjadi sulinggih ( Ida Pandita Mpu ). Jero Mangku Gde Ketut Subandi  juga menunjukkan bukti-bukti kesejarahan leluhur orang Bali, melalui babad-babad, yang selama ini  telah dimanipulasi dan di-kotak-kotak kan diberbagai kasta.

Kini abad tehnologi, Kasta sudah mulai luntur baik di India maupun di Bali. Bukti-bukti kesejarahan sudah ditunjukkan. Dalil-dalil rasisme/kastaisme yang dilekatkan kepada umat Hindu sudah ditolak karena terbukti merupakan propaganda kaum Adharma dan ditampilkan Catur Warna  yang asli, seperti tertulis dalam kitab-kitab Weda (bukan Weda terjemahan Max Muller dkk). Tetapi kaum Adharma tidak pernah kehilang-an energi untuk terus memompakan sema-ngat Kastaisme, yang dilekatkan kepada agama Hindu. 

Rupanya penyesatan Weda oleh kaum Adharma juga tidak pernah kendor.  Ibarat Buruk Muka Cermin di Belah;  Konsep perbudakan di Al Quran dan Injil diterap-kan  pada masyarakat Hindu di India dan Bali yang terjajah. Rakyat India dan Bali saat itu tidak berdaya karena dalam tekanan pen-jajahan sehingga seolah-olah perbudakan / kastaisme bersumber dari Weda.

Bahwa kasta-kasta di Bali  di buat karena kebodohan umat Hindu saat itu , dan diman-faatkan oleh kaum hedonis dan kolonialisme. Kini Umat Hindu sudah pintar-pintar. Bisama Parisadha Hindu Nomor : 03/ Bhisama /Sabha Pandita Parisada Pusat/X/ 2002 tertanggal 29 Oktober 2002 tentang Pengamalan Catur Varna, telah dikeluarkan, tetapi kalau hanya sekedar bhisama, masih banyak pembangkangan, harus ada sangsi hukum positif melalui  perda atau undang-undang Desa pekraman yang baru, untuk menghapus diskriminasi dan kastaisme. Awig-awig dibuat oleh manusia, bisa diperbaharui  dengan awig-awig  yang sesuai dengan tuntutan jaman untuk kepentingan Manusia.  Awig-awig  yang terbukti sesat karena mengacu terjemahan misionaris kristen, harus di musnahkan dan diganti dengan awig-awig   baru yang lebih manusia-wi dan agamis sesuai dengan kitab Weda asli yang Berbahasa sansekerta.




Empat Kasta tidak sama dengan Catur Warna. Catur Warna adalah Empat Tipe Kepribadian Manusia


Empat kasta tidak sama dengan Catur Warna. Kasta merupakan statifikasi sosial yang sangat kaku berdasarkan atas keturunan,  Sedangkan Catur Warna merupakan Tipologi Kepribadian Manusia,yang terbentuk oleh interaksi dinamis triguna karma.  Seperti disebutkan dalam  BG.  IV.13 : Chatur Varnyam maya srishtam  guna  karma   vibhagasah,  artinya:  Catur warna adalah ciptaanku bardasarkan guna karma yang melekat padanya.

Triguna sebagai dasar pembentukan Catur Warna terdiri dari Satwam, Rajas dan Tamas.  BG.XIV.5, menyebutkan : Sattwam Rajas Tamas iti Guna Prakritisamdhawahartinya:
Satwan rajas tamas merupakan sifat bawaan yang terlahir dari prakirti.

Selanjutnya Bagawad Gita XIV.6  menyebut-kan Ciri-ciri Satwam sebagai berikut :  
Nirmalawat = Sifat yang tidak tercela.
Prakasakam  =  Bercahaya
Anamayam = tidak mengenal sedih/ menderita
Sukhasangena  =  selalu memberi rasa senang
Jnanasangena  =  memberikan ilmu pengetahuan
Anagha  =  tidak tercela

Ciri-ciri Rajas (BG.XIV.7) :
Raga = nafsu,
Atmakam = sendiri,
Trsna = nafsu birahi,
Sanga = terikat,
Karmasangena = terikat oleh karma.
Dahinam = Jasad Rohani.

Ciri-ciri Tamas (BG.XIV.8) :
Ajnanam =  tidak berpengetahuan,
Mohanam = kebingungan,
Pramada = tidak peduli/hirau/masa bodo.
Lasya =  malas, 
Nibrabhis = ketiduran/malas ,
Nidra = tidur,

Satwam menghubungkan seseorang kedalam kebahagiaan, Rajas menghubungkan orang dalam perbuatan/ karma, sedangkan Tamas menutup pengetahuan sehingga menjadi kurang waspada. (BG.XIV.9).

Selanjutnya Bagawad Gita XIV.11-13, menyebutkan apabila badan ini didominasi oleh Satwam  maka Ilmu pengetahuannya menembus didalam badan melalui semua pintu.  Apabila didominasi oleh Rajas maka perilaku yang tampak adalah:
Lobham = Loba, giat dalam usaha,
Prawrttir = Kegiatan kerja duniawi.
Arambah = giat berusaha.
Sprha = kemauan kuat. 


Sedangkan apabila Badan ini didominasi oleh Tamas maka akan tampak  :
Aprakaso = kekurangan cerah/tdk bersinar,
Aprawrtti = malas. 
Pramada = tidak peduli/teledor. 
Moha = bingung,
Nidralasya = suka tidur,
Mohanam atmanam = kesesatan jiwa

Triguna sebagai pembentuk struktur Catur Warna  terdiri dari :

1.      Satwam, merupakan  gudang nilai-nilai moral dan Ilmu pengetahuan, sehingga  mampu melakukan sensor bagi individu dalam menentukan salah atau benar, baik atau jahat, karena  Satwam  memperhati-kan prinsip-prinsip moral dan  merupa-kan  representasi dari norma umum dan kesusilaan.
2.      Rajas, mewakili kenyatan fisik dan sosial seseorang.  berpungsi sebagai penyeim-bang antara Tamas dan Satwam.
3.      Tamas,  merupakan struktur kepribadian primitif, tidak sadar, bekerja tidak rasional dan infulsif,karena  merupakan dorongan kemauan insting.

Catur warna dalam Agama Hindu sangat terbuka. BG.XVIII.41. menyebutkan : Brahmana ksatrya wisam sudranam ca parantapa, karmani prawibhaktani swabhwa prabhawir  gunah. Artinya Brahmana Ksatrya Wesya dan Sudra perilakunya dibentuk oleh sifat bawaan guna (triguna).

Pola perilaku yang ditunjukkan secara terus menerus oleh tiap-tiap individu menurut Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro disebut Kepribadian/ personality . Sedangkan menurut Salvador R Maddi, Kepribadian merupakan seperangkat karakteristik yang relatip mantap,kecenderungan dan perangai yang sebagian besar dibentuk oleh faktor keturunan dan faktor faktor sosial, kebudayaan dan lingkungan. Perangkat variabel ini menentukan persamaan dan perbedaan perilaku individu.


Jadi Catur Warna bisa pula diarti-kan sebagai Empat Tipe kepribadian manusia - menurut Ilmu Psikologi.


Sangat mungkin Sigmund Freud membangun teori Psiko-dinamis Kepribadian nya setelah membaca Seloka-seloka Gita ini.  Sigmund Freud: menerangkan perbedaan kepribadian individu karena tiap orang mengalami perangsangan pokok yang berbeda-beda, yang disebabkan oleh pertentangan terus menerus antara dua bagian dari struktur kepribadiannya yang menurut istilah Freud disebut ;  Id, Ego dan super ego.

Kepribadian  (bhs Inggris Personality), tidak sama dengan sifat/watak (Bhs Inggris character ). Kepribadian/personality bersifat menetap,konsisten sepanjang waktu dan dalam berbagai situasi. sedangkan watak/ character sifatnya sewaktu-waktu dapat berubah, misalnya besifat  atau berwatak keras kepala, pemarah dls.

Didalam kitab Weda, Seseorang  disebut Brahmana kalau memperlihatkan ciri-ciri Brahmana seperti disebutkan dalam seloka Bagawad Gita . XVIII.42  sebagai berikut  :
Samo = khusuk/tenang,
Damas = menguasai panca indra/mampu mengendalikan diri.
Tapah = mampu mengendalikan nafsu
Saucam =  suci.
Arjawa = luhur budinya.
Ksanti = damai/tenang,
Jnanam = berpengetahuan.
Wijnanam = bijaksana/berpengalaman.
Astikyam  =  religius.

Seseorang disebut Ksatrya apabila mem-perlihatkan ciri-ciri Ksatrya seperti disebut-kan dalam Bagawad Gita.XVIII.43 yaitu :
Sauryam = heroisme/pemberani.
Tejo  = lincah.
Dhritir = teguh .
Daksyam = pandai menyelesaikan tugas,
Yuddhe = siap bertempur.
Apalayamam =  tidak pengecut.
Dana = dermawan.
Iswarabhawa = bersifat memimpin/ berwibawa.

Seseorang disebut Wesya apabila mem-punyai ciri-ciri Wesya seperti disebutkan dalam B.XVIII.44 sebagai berikut :
Krsi =  mengusahakan pertanian.
Gauraksya =   memelihara lembu/berternak. 
Wanijyam = berdagang.

Sedangkan seseorang disebut Sudra kalau mempunyai ciri-ciri Sudra seperti disebut dalam BG.XVIII.44 sebagai berikut :,
Paricaryatmakam =  suka melayani

Seorang Brahmana bisa saja terlahir dari warna Sudra/pelayan,  seperti Narada Muni, meskipun orang tuanya seorang Babu (pembantu rumah tangga) berkat proses belajar, akhirnya Narada mampu menjadi Brahmana, bahkan kemudian diangkat menjadi Penghulu di Sorga dengan sebutan Betare Narada. Demikian juga Ksatrya bisa tumbuh dikalangan Sudra contohnya  Radeya, anak kusir kereta, dan Damar Wulan seorang gembala kuda, dan Juga Bambang Ekalawiya, seorang anak Nisada yang tidak mau diangkat menjadi murid oleh Rsi Drona karena dianggap bukan Keturunan Ksatrya, berkat proses belajar yang ulet mereka  mampu menjadi Ksatrya. Ksatrya bisa juga berasal dari anak serang bromocorah, seperti Ken Arok-anak seorang pencuri dan penjudi, berasal dari orang tua yang bukan Ksatrya, bukan pula berasal dari Brahmana, berkat proses belajar Ken Arok akhirnya bisa menjadi Ksatrya /Raja. Seorang Ksatrya bisa juga besar dikalangan peternak sapi/wesya contohnya  Sri Kresna.  Seorang Ksatrya bisa juga lahir dari kalangan yang tidak diketahui identitas/asal-usulnya, misalnya Mahapatih Gadjah Mada.  Seorang Ksatriya bisa juga berasal dari Brahmana misalnya Kresna Kepakisan,  Darmawangsa Teguh, Arya Tatar,  Patih Ulung. Dan juga I Gusti Agung Pasek Gelgel yang diangkat menjadi Caretaker Raja Bali th. 1345-1352 oleh Mahapatih Gadjah Mada adalah keturunan seorang Mpu. Seorang Brahmana bisa juga berasal dari keturunan Raksasa seperti  : Prahlada, anak Raksasa Hiranya Kasipu, bisa menjadi Brahmana. Seorang Brahmana atau Ksatrya bisa pula mempunyai anak menjadi Sudra atau Wesya, tergantung bagaimana orang tua mendidiknya dan lingkungan yang mempengaruhinya.

Yayur Weda XXX.5 menyebutkan     Brahmane brahmanam, Ksatraya rajanam, marudbhyo vaisyam, tapase sudram  artinya:
Brahmana untuk pengetahuan, Ksatrya untuk perlindungan, Waisya untuk perdagangan, dan Sudra untuk pekerjaan jasmaniah.

Maksud dari mantra tersebut seorang yang mempunyai tipe kepribadian Brahmana sangat cocok untuk melakukan pekerjaan berkaitan dengan ilmu pengetahuan seperti menjadi seorang : guru/dosen/acharya,   rohaniawan maupun pendeta/sulinggih. 

Sedangkan yang mempunyai tipe kepribadi-an Ksatriya, lebih cocok untuk berprofesi sebagai yang melindungi seperti; Prajurit/ tentara, Penguasadan Pejabat pemerintahan.

Sedang  mereka yang bertipe kepribadian Wesya lebih cocok kalau perkerja sebagai Pedagang, Pengusaha, Peternak atau Petani .

Sedangkan  mereka yang mempunyai tipe kepribadian Sudra lebih cocok berprofesi/ bekerja sebagai pegawai gajian yang lebih banyak menggunakan tenaga fisik dari pada kemampuan intelektual-nya,  seperti menjadi buruh atau pegawai/ karyawan yang tidak menentukan kebijakan, karena tipe kepribadi an Sudra lebih suka mengerjakan pekerjaan fisik/suka melayani dan kurang dalam kemampuan Intelektual. (kurang cerdas).

Dengan mengetahui tipe kepribadian seseorang sangat membantu untuk kemajuan dalam memilih profesi. Dengan demikian Agama Hindu sudah  sangat maju dalam bidang Ilmu Psikologi. Tentu Profesi ini tidak menetap, tergantung proses belajar dan lingkungan yang mempengaruhinya.

Tipe kepribadian yang menetap memberikan arahan kepada kita untuk menyadari potensi maupun kemampuan kita masing-masing, sehingga akan membawa kita ke arah kesuksesan. 

Seorang  yang berbakat  sebagai pengusaha akan lebih sukses kalau menjadi pengusaha dari pada menjadi tentara. Atau  seorang yang berbakat jadi Guru akan lebih sukses kalau dia menjadi guru, dibandingkan kalau menjadi pedangang. Atau seseorang yang tidak mempunyai kecerdasan Intelektual (IQ) dan kecerdasan Emosional (IE) lebih baik bekerja sebagai pegawai gajian/atau buruh dari pada memaksakan diri bekerja sebagai Pendeta.Atau bercita-cita menjadi pedagang/ pengusaha.

Lalu bagaimana menentukan tipe kepribadian seseorang ?.

Menurut  R.B.Cattell; ada 16 ciri  dasar  yang melandasi perbedaan perilaku individu. Dalam  riset  yang dihasilkan dari pengem-bangan daftar pertanyaan 16 PF Cattell (sixteen Personalities Factor) digunakan untuk mengukur sejauhmana orang mempu-nyai ciri-ciri tersebut. Diantara ciri-ciri yang diindentifikasi oleh Cattell adalah: pendiam-ramah tamah,praktis-imajinatif.santai-tegang rendah hati-tegas. Ke 16 ciri Cattell tersebut bersifat 2 kutub, masing masing memiliki 2 ektrim( contoh santai-tegang).

Kitab Bagawad Gita dapat dipakai se-bagai  referensi  Ilmu Psikologi modern untuk mengetahui tipe-tipe kepribadian sese-orang.  Kepribadian dapat diketahui dengan memakai ciri-ciri kepribadian ( Tait of personality ) dengan mengacu pada sloka-sloka BG XIV.6-8  dan BG XIV. 11-13 dan BG. XVIII.42-44 diatas. Dengan mengacu sloka-sloka tersebut serta mengamati pola-perilaku yang ditunjukkan secara terus menerus oleh seseorang, dapatlah kita menyimpulkan, seseorang mempunyai tipe kepribadian Brahmana atau  tipe Kepribadian Ksatrya, tipe Kepribadian Wesya atau tipe Kepribadian  Sudra.

Dengan menggunakan Ilmu Psikologi ini, dapat pula kita menilai, apakah seorang Perwira Tentara layak disebut Ksatrya apa tidak. Seorang Pendeta layak disebut  Brahmana apa tidak.   Bagaimana dengan Perwira yang kabur dari medan perang/ desersi, atau seorang Pendeta yang (maaf) membisniskan kependetaannya atau menjual doa-doanya?.  Ataupun Pengusaha besar        (wesya) yang mendapatkan kekayaan dengan menjual produk yang dilarang oleh Agama maupun Undang-undang. Atau seorang buruh tani  yang berperilaku sopan santun, selalu membuat orang lain senang, berpengetahuan Agama yang luas, berpe-nampilan menarik?. Tetapi karena keadaan  membawanya menjadi Buruh?????


Dengan demikian Catur Warna tidak tepat kalau diterjemahkan sebagai Empat kelompok masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan atau profesinya. Karena pekerja-an seseorang belum tentu sesuai dengan pola perilakunya. Catur Warna lebih cocok diterjemahkan : Empat tipe  kepribadian manusia.


Untuk mengetahui tipe kepribadian sese-orang dapat menggunakan serangkaian tes dengan mengacu sloka-sloka Bagawad gita XIV.11-13 dan BG. XVIII.42-44. Dengan mengetahui tipe  Kepribadiannya, diharap-kan seseorang memilih profesi/pekerjaan yang sesuai dengan tipe kepribadiannya. Sehingga membawa ketenangan dan kesuksesan dalam kehidupannya, karena sesuai dengan “The Right Men and The Right Job”. Manusia bekerja/berprofesi  sesuai dengan minat dan keahliannya.



Kesimpulan :


1.      Kasta tidak dikenal dalam Kitab suci Weda
2.      Kasta yang dikait-kaitkan dengan Weda berkat upaya Max Muller, William Jones, Herbeith Hope Risley untuk kepentingan mengalih agamakan dan kolonialisme
3.       Kolonialis Inggris memperkuat Kasta-isme di India dengan Undang-Undang Kolonial tahun 1901
4.      Kasta mulai menyebar di Indonesia semenjak runtuhnya kerajaan Hindu Majapahit
5.      Kasta di Bali di buat oleh Danghyang Nirarta sekitar abad ke 15 karena terpengaruh pemikiran Rasialis dan Perbudakan Arab dan Eropa
6.      Kolonialis Belanda memperkuat kastaisme  di Bali
7.      Umat Hindu telah menolak konsep kasta semenjak kasta dikaitkan dengan Catur Warna, bahkan sampai mengor-kan  nyawa dan diasingkan sebagai budak belian.
8.      Catur Warna tidak sama dengan Empat Kasta
9.      Catur Warna adalah Empat Tipologi Kepribadian Manusia berdasarkan interaksi dinamis triguna (satwam, rajas, tamas) dan Karma
10.  Kasta merupakan Stratifikasi sosial yang kaku, merupakan cermin rasialisme dan perbudakan masyarakat Arab dan Eropa yang mendasarkan masyarakatnya pada kitab Al Qur’an dan Injil



Daftar Kepustakaan

5.      Donder,I Ketut; The tru history and the religion of India. Dalam Media Hindu  ed. 92 halaman 44-45. Oktober  2011
6.      Singgih Wikarman, I Nyoman;  Leluhur Orang Bali, dari dunia babad dan sejarah. Paramita Surabaya, 1998
7.      Jero Mangku Ketut Soebandi; Babad Warga Brahmana, Pandita Sakti Wawu Rawuh, asal-usul, peninggalan, dan Keturunan Danghyang Nirartha, Pustaka Manikgeni, Jkt. 1998
8.      Geoffrey Robinson ; Sisi Gelap pulau Dewata, LkiS, Yogyakarta 2005
9.      Nurul Huda; Tokoh Antagonis Darmo Gandul; pura pustaka, Yogyakarta. 2005
10.  Pudja G :Bagawad gita : lembaga peneliti dan pengembangan Weda, Maya Sari Jkt 1985/1986
11.  Kanalayan M. Talreja,Veda & Injil,  Ngakan Made Maadrasuta (Editor). Media  Hindu                                           Jkt, 2005
12.  R.B. Cattel :Personality and Mood by Questionare;  dlm Organissi jilid 1; Gibson dkk,Erlangga, Jkt..1989
13.  Mudiarcana, ING. “Kepribadian Hindu dan Pembangunan Masa Depan”. Dalam , Cendekiawan Hindu Bicara. Putu Setia (ed),Yayasan Dharma Narada hal 70-87. Denpasar 1992





Dr.ING.Mudiarcana. 
Mantan Seretaris Jenderal DPP Pemuda Hindu Indonesia  2000-2005   kini bekerja sebagai Dokter.



รจSILAHKAN MENGUTIP DAN MENYEBARKAN SEMUA TULISAN DALAM BLOG INI.ASAL MENYEBUTKAN SUMBERNYA <==